m.awaludin
8 syarat menjadi wartawan
Ditulis oleh Jarar
Siahaan on May 19th, 2008 and filed under jurnalisme.
Harus sarjana jurnalistik? Bukan. Justru hanya
segelintir media yang mensyaratkan gelar sarjana jurnalistik saat membuka
lowongan kerja bagi wartawan baru.
Oleh Jarar Siahaan; Blog Berita; Balige
Bahkan media sebesar suratkabar Kompas,
majalah Tempo,
atau stasiun Metro TV tidak pernah menyebutkan syarat
sarjana jurnalistik; yang penting sarjana, biasanya S1, dari fakultas apapun.
Sebagian besar wartawan media, mulai tingkat reporter hingga redaktur, bukan
sarjana jurnalistik. Titel mereka dari berbagai disiplin ilmu, mulai sarjana
ekonomi hingga sarjana teknik.
Aku juga sering
membaca, antara lain di majalah Pantau — media yang khusus mengulas
dunia kewartawanan, yang sayangnya sudah berhenti terbit — bahwa media di
negara-negara barat justru tidak terlalu peduli dengan embel-embel sarjana.
Media raksasa multi-format, National Geographic [NG], berani membayar puluhan hingga
ratusan juta rupiah untuk satu liputan mendalam yang dikerjakan kontributor —
wartawan freelance yang tidak terikat sama sekali dengan NG — tanpa
mensyaratkan kontributor harus sarjana; yang penting adalah karyanya, bukan
deretan gelar akademisnya.
Berikut adalah delapan syarat menjadi wartawan.
Nomor 1 sampai 6 kusarikan dari buku Menggebrak dunia wartawan [1993,
Kurniawan Junaedhie] yang kutambah dengan pengalamanku, sedangkan dua poin
terakhir, 7 dan 8, adalah murni pendapatku pribadi.
- Tidak alergi terhadap teknologi. Wartawan zaman sekarang harus fasih memakai email untuk mengirim berita, alat perekam suara, kamera foto atau video, dan mencari referensi lewat Internet.
- Punya naluri-ingin-tahu yang tinggi dan bukan penakut. Lebih bagus lagi kalau bernaluri sebagai detektif. Wartawan sering diancam karena tulisannya, tapi jangan lantas berhenti menulis.
- Menguasai bahasa. Tentu saja yang terutama adalah bahasa Indonesia. Aku sering menemukan wartawan yang tidak mampu menulis secara jelas, melainkan berputar-putar dengan “bahasa langit”, bahkan beberapa di antaranya adalah “wartawan senior” yang sudah 20-30 tahun bekerja.
- Santun dan tahu etika. Aku kerap melihat wartawan yang memaksa masuk ke ruangan pejabat dan langsung duduk padahal si pejabat sebenarnya belum bersedia menerima karena masih ada tamu atau pekerjaannya yang lain. Ada juga wartawan yang mewawancarai narasumber dengan bahasa memaksa, mendesak bagai polisi. Boleh saja meliput peristiwa seperti demo atau lomba tarik tambang dengan memakai celana pendek, tapi jangan berkaus oblong saat meliput sidang pengadilan atau masuk ke kamar kerja gubernur.
- Disiplin pada waktu. Wartawan tidak boleh menulis berdasarkan mood seperti halnya seniman, karena redaksi dibatasi deadline untuk menerbitkan berita. Sering wartawan-magang gagal diterima karena selalu telat menyetor berita. Bila kau tergantung pada mood, maka pilihlah menjadi wartawan lepas atau bloger.
- Berwawasan luas. Untuk hal ini, sejak dulu aku sepakat bahwa penulis yang baik harus lebih dulu menjadi pembaca yang baik. Banyak wartawan daerah yang tidak mau membaca media nasional, buku-buku populer, atau mengorek isi Internet; mereka hanya membaca korannya sendiri, itupun cuma untuk melihat “beritaku terbit nggak, nih.”
- Jujur dan independen. Memangnya ada wartawan yang tidak jujur? Banyak, terutama di daerah. Berita bisa direkayasa sesuai pesanan narasumber. Seratusan orang demo bisa muncul di koran sebagai seribuan orang. Bupati diadukan korupsi, berita yang muncul menjadi “Ada LSM yang ingin membuat rusuh Tobasa.” Memangnya ada wartawan tidak independen? Ini paling banyak, bahkan di Jakarta sekalipun. Harian terbesar Amerika, Washington Post, menetapkan syarat bagi wartawannya: “Lepaskan dulu jabatanmu di parpol, baru bergabung dengan koran ini.” Di Balige, kabupaten lain, Medan, provinsi lain, kujamin banyak wartawan yang aktif di partai politik.
- Memperlakukan profesi wartawan bukan semata-mata demi uang. Profesi kuli-tinta sering disandingkan dengan seniman. Ia adalah sosok idealis, yang bekerja tidak melulu karena gaji tinggi. Pengacara bisa saja menolak bekerja kalau kliennya tidak mampu membayar tarif sekian rupiah. Aku sering menemukan wartawan yang tidak mau menulis karena narasumbernya tidak memberikan uang seperti diminta si wartawan. “Dia minta dua juta supaya beritanya terbit di halaman satu. Aku tidak punya uang sebanyak itu, ya sudah, mending kukasih Rp100 ribu ke wartawan mingguan, terbit di halaman dalam pun tidak apa-apa,” kata seorang anggota DPRD padaku suatu ketika. Jangan kaget bila pejabat dan pengusaha di daerah sering berkata, “Lae, bayar berapa untuk menerbitkan berita jadi headline?” Dan jangan kaget pula bahwa pertanyaan itu justru ditujukan pada wartawan koran-koran harian beroplah besar.
Dari 12 syarat yang tercantum pada buku Kurniawan
Junaedhie, tidak ada satu pun menyinggung titel kesarjanaan. Pada 50 lebih buku
jurnalisme yang pernah
kubaca, titel sarjana jurnalistik juga tidak pernah disebut sebagai salah satu
syarat menjadi wartawan. Mungkin bagi orang awam hal ini akan terdengar ganjil.
Tapi begitulah yang terjadi di media pers: Yang dicari adalah orang yang mampu
menulis, bukan orang yang pernah kuliah jurnalisme.
Jadi, kalau kau adalah seorang sarjana yang baru
tamat tapi bukan dari program jurnalistik, kau tetap punya peluang besar jadi
wartawan. Lihatlah lowongan di media-media lokal maupun nasional. Bahkan bila
kau bukan sarjana, kau pun tetap bisa jadi wartawan, walaupun peluangnya lebih
kecil. Pengalaman pribadiku di bawah ini mungkin bisa memberimu semangat dan
inspirasi.
Pada 1999 aku memasukkan lamaran ke harian Medan
Ekspres — kini bernama Sumut Pos — koran milik Jawa Pos.
Aku tahu koran itu mensyaratkan sarjana, tapi aku nekat. Sekretaris redaksi
yang menerima berkas lamaranku berkata, “Nanti kusampaikan, bang, tapi
sebenarnya harus sarjana, lho.” Kujawab: “Aku tahu. Tapi sampaikan saja dulu
sama Pemred.”
Beberapa hari kemudian aku bertemu dengan
pemimpin redaksinya, Abdul Haris Nasution — kalau aku tidak lupa namanya — yang
pernah bekerja di majalah Tempo. Sore itu, di kantor redaksi, dia
membuka-buka berkas lamaranku. Dia memelototi sejumlah contoh beritaku yang
pernah terbit di koran-koran tempatku bekerja sejak 1995. “Ini foto-foto
jepretanmu sendiri?” katanya, menunjuk beberapa gambar bentrok Brimob dengan
warga Balige yang demo
menolak PT Indorayon; antara lain foto seorang Brimob sedang mengarahkan
senjata pada seorang warga yang berlindung di balik papan di depan kedainya,
dan foto warga lain yang jemarinya putus ditembak Brimob.
“Benar, fotoku sendiri,” jawabku.
“Kami pakai dulu foto ini, ya,” katanya lagi,
lalu memanggil tiga orang redaktur, yaitu Syaiful Ishak [kini petinggi di
kantor Graha Pena Medan],
Yulhasni, dan satu lagi aku tidak ingat. “Bagaimana anak ini menurut kalian?
Aku suka, aku ingin dia bekerja di koran kita. Tapi dia bukan sarjana,” kata
Nasution.
Akhirnya aku diterima, dengan syarat: Aku harus
mengirim minimal tiga berita setiap hari dari Balige, dan beritaku harus layak
jadi berita utama di halaman daerah, bahkan aku mesti berusaha menembus halaman
satu. Enam bulan masa magang berlalu, aku lolos. Bahkan tidak lama kemudian,
pemred berikutnya, Choking Susilo Shakeh, mempromosikanku menjadi redaktur.
Terkadang, pada minggu-minggu pertama, aku merasa
minder dan “tidak nyaman” di kantor karena kawan-kawanku redaktur adalah
sarjana. Tapi mereka teman-teman yang baik dan peduli. Singkat cerita, kemudian
aku harus mengundurkan diri dari jabatan redaktur karena pindah domisili ke Palembang. Setelah itu
aku bekerja di beberapa koran, majalah, dan menjadi stringer untuk
Biro Foto Antara, sebelum mengundurkan diri dari koran terakhir, Harian Global,
lalu pada Maret 2007 menjadi penulis web mengelola Blog Berita ini.
Undang-undang wartawan
Pasal 7
1. Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
2. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Pasal 7
1. Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
2. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Apakah PNS bisa menjadi wartawan atau pers
BalasHapus