Kritik
atas Kebohongan Publik
di potkan oleh m.awaludin
Keresahan sejumlah tokoh agama mengawali tahun 2011 bukan tanpa alasan.
Mereka menyuarakan keresahan umat. Pamrihnya kepentingan publik.
Oleh karena itu, pertemuan para tokoh agama yang digagas Maarif Institute,
Senin (10/1), itu bermakna profetis. Di antaranya jauh dari muatan kepentingan
politik praktis, kecuali sesuai dengan fungsi kenabian agama-agama menyuarakan
apa yang dirasakan umat. Dan, justru dalam konteks fungsi itu, seruan mereka
sah secara etis dan moral, sepantasnya mendapatkan perhatian.
Seruan profetisnya jelas. Pemerintah melakukan kebohongan-kebohongan publik,
menyitir istilah Ahmad Syafii Maarif. Kekuasaan atas nama rakyat dikelola tidak
terutama untuk kebaikan bersama. Seruan itu terdengar sarkastis yang menggambarkan
gentingnya keadaan. Kebohongan tidak saja dilakukan eksekutif, tetapi juga
yudikatif dan legislatif—tiga lembaga negara demokratis.
Peristiwa aktual-heboh pelantikan terdakwa kasus korupsi Wali Kota Tomohon
Jefferson Rumajar dan penanganan terdakwa kasus mafia pajak Gayus Tambunan
sekadar dua contoh. Legalitas pelantikan berbenturan dengan rasa keadilan
publik. Kasus pelesir Gayus ke Bali, Makau, dan entah ke mana lagi mungkin
hanya aberration (penyimpangan) kasus raksasa masalah mafia pajak.
Dua contoh di atas merupakan puncak gunung es sikap dasar (optio
fundamentalis) tidak jujur, tertutup praksis politis yang menafikan kebaikan
bersama sebagai acuan berpolitik. Media massa sudah nyinyir menyampaikan
praksis kebohongan yang seolah-olah majal berhadapan dengan kerasnya batu
karang nafsu berkuasa.
Begitu liat-rakusnya kekuasaan sampai kebenaran yang menyangkut data pun
dinafikan. Kebohongan demi kebohongan dilakukan tanpa sadar sebagai bagian dari
praksis kekuasaan tidak prorakyat. Jati diri sosiologi praktis para tokoh agama
adalah menyuarakan seruan profetis, representasi keresahan dan keprihatinan
umat. Kita tangkap dalam ranah itulah kritik atas kebohongan publik para tokoh
agama. Hendaknya disikapi sebagai seruan profetis, seruan mengingatkan rakusnya
kekuasaan, dan ajakan elite politik kembali kepada jati diri sebagai pelayan
masyarakat.
Kritik atas kebohongan niscaya disampaikan semata- mata karena rasa memiliki
atas masa depan negeri bangsa ini. Seruan mereka tidak dengan maksud mengajak
berevolusi, tetapi menyuarakan nurani etis-moralistis. Mereka pun tidak
bermaksud membakar semangat revolusioner, tetapi penyadaran bersama tentang
gawatnya keadaan. Suara kenabian mengajak laku otokritik, bersama-sama
melakukan evaluasi dan refleksi. Bahwa kekuasaan atas mandat rakyat perlu
dikelola untuk bersama-sama maju.
Pluralitas Indonesia sebagai realitas yang sudah niscaya perlu terus
dikembangkan, dimanfaatkan sebagai sarana memajukan rakyat. Sekaligus
menghentikan ”patgulipat” apologetis atas nama rakyat. Rakyat seharusnya
menjadi titik pusat dan batu penjuru atas praksis kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar