Minggu, 16 Oktober 2011

Tantangan Praktisi Public Relations

Feminisasi dan Pelecehan Profesi Berjender Feminin:
Sebuah Tantangan Praktisi Public Relation
M.AWALUDIN
Jurusan Ilmu Komunikas PENYIARAN ISLAM
Abstract
This article discusses the professional harassment often experienced by female -dominated
profession. Public Relations, as it grows to be one of the most wanted ‘feminine profession’ in the
communication industry, is said to be experiencing this kind of harassment as well. Public
Relations experiences professional harrassment in terms of it s downgraded status despite its
growing popularity, its notorious reputation as being less ethical and less trustworthy, and
several gender discrimination practices still found in the Public Relations industry. This article
proposed solutions to the problems are: the continuous efforts are needed to eradicate the subtle
systemic barriers exist in the workplace, promoting and informing future public relations
professionals about other areas of Public Relations industry which seldom considered as the
favourite choice for those who wants to expand career in Public Relations, and finally the
application of professional code of ethics in Public Relations needs to be enhanced.
Keywords: Public Relations, profession, harassment, woman
Pada masa sekarang ini, perkembangan kajian mengenai perempuan bisa dikatakan tengah
mencapai puncaknya. Kajian tersebut berkembang sangat pesat dan kini cakupannya telah
merambah ke berbagai aspek dimana didalamnya diyakini terdapat kepentingan -kepentingan
perempuan yang tengah dipertaruhkan dan karenanya perlu diperjuangkan. Dari sekian banyak
aspek kajian perempuan tersebut, salah satunya adalah pembahasan mengenai isu -isu yang
dihadapi perempuan di dunia kerja. Dalam kajian -kajian tersebut, beberapa permasalahan per -
empuan dan dunia kerja yang diangkat adalah isu -isu seputar diskriminasi upah, diskriminasi
jender dalam hal pengem-bangan karir serta posisi yang bisa diraih (Wood, 2005; Miller, 2003;
Ibrahim & Suranto, 1998), dan pelecehan seksual (Miller, 2003; Albrecht & Bach , 1997).
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pengalaman yang berkenaan dengan pelecehan seksual
merupakan pengalaman yang traumatis, namun begitu tulisan ini tidak akan mengangkat topik
seputar pelecehan seperti yang selama ini biasa dipahami, yakni dalam be ntuk tindakan-tindakan
seksual (sexual advances) yang (kebanyakan) diarahkan kepada per -empuan (Albrecht & Bach,
1997; Miller, 2003). Pelecehan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebuah bentuk
pelecehan yang lain, yaitu pelecehan terhadap suatu pr ofesi. Pelecehan semacam ini memang
tidak menyerang individu atau perseorangan, melainkan sebuah profesi secara keseluruhan.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dan apakah hal ini juga berkaitan dengan kepentingan
perempuan?
Kita hidup dalam dunia yang berjen der (gendered world), dimana hampir semua aspek dalam
kehidupan manusia dibagi -bagi atau dikotak-kotakkan berdasar pada asumsi -asumsi tentang apa
yang disebut sebagai feminin atau maskulin. Jender biasa kita pahami sebagai segala atribut yang
melekat atau diharapkan untuk melekat pada jenis kelamin tertentu dan menjadi semacam
panduan bagi manusia tentang bagaimana seharusnya kita berperilaku di masyarakat.
Namun jika pemahaman mengenai jender itu kita perluas, maka kita bisa melihat betapa
dikotomi mengenai feminin dan maskulin ini tidak hanya bisa diterapkan pada individu,
melainkan juga pada berbagai aspek kehidupan manusia yang lain seperti ruang publik, dunia
pendidikan, dan dunia profesi atau dunia kerja. Wood (2005) bahkan meyakini bahwa manusia
menjalani hidup yang berjender (gendered lives), dimana hampir semua tahapan dalam
kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari dikotomi feminin dan maskulin yang telah mengakar
kuat.
Jika Rebecca Solnit menyatakan bahwa ruang publik seperti siang dan malam pun be rjender
(gendered space) yang membatasi ruang gerak perempuan hanya di siang hari (Solnit, 2000),
maka bagi Wood (2005) aspek-aspek kehidupan berjender yang harus dijalani oleh perempuan
dan laki-laki mencakup dunia pendidikan yang berjender ( gendered education) dimana ada
jurusan-jurusan tertentu yang dipandang lebih cocok untuk laki -laki (jurusan IPA/ A1 di SMA,
jurusan-jurusan teknik atau elektro misalnya), dan jurusan -jurusan lain dipandang lebih sesuai
untuk perempuan (jurusan Bahasa di SMA, SMEA, Pend idikan Keperawatan, jurusan Sastra dan
Budaya misalnya); bahasa yang berjender ( gendered language) dimana terdapat masculine speech
dan femininine speech; media yang berjender (gendered media); dan profesi yang berjender
(gendered profession) dimana ada profesi-profesi tertentu yang dipandang sebagai ‘area’ laki -laki
dan karenanya didominasi laki -laki dan profesi-profesi lain yang dipandang sebagai ‘area’
perempuan yang karenanya didominasi oleh perempuan (Wood, 2005).
Ada banyak isu yang dihadapi perempuan di dunia kerja. Selain harus menghadapi tantangan
dalam hal diskriminasi upah, hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh
pekerjaan, pelecehan seksual di tempat kerja, serta tantangan untuk mengem -bangkan karier dan
menduduki posisi-posisi penting atau meraih jenjang tertinggi dalam corporate ladder, salah satu
tantangan baru yang harus dihadapi perempuan adalah adanya pelecehan terhadap profesi -profesi
tertentu yang biasanya didominasi perempuan.
Seperti telah dikemukakan sebelum-nya, salah satu aspek kehidupan berjender yang harus kita
jalani adalah adanya kenyataan bahwa pekerjaan atau pilihan akan profesi yang akan kita tekuni
pun tak bisa dilepaskan dari label -label feminin dan maskulin. Ditengah -tengah hingar bingar
perjuangan perempuan menuntut persamaan upah, cuti hamil yang layak, serta tersedianya tempat
penitipan anak di tempat kerja, maka isu tentang pelecehan terhadap profesi seolah menjadi
tenggelam, terlebih jika dibandingkan dengan isu pelecehan seksual.
Perjuangan perempuan untuk men-dapatkan tempat di dunia kerja adalah sebuah perjuangan
yang panjang dan berat. Pada perkembangannya, salah satu ‘kemenangan’ perempuan adalah
mun-culnya profesi-profesi bergengsi yang didominasi oleh perempuan. Public Relations adalah
salah satu diantaranya. Toth (2001) menyatakan bahwa sejak tahun 1980 -an terdapat peningkatan
yang signifikan pada jumlah perempuan yang memasuki profesi Public Relations. Survey terakhir
di Amerika Serikat bahkan menunjukkan bahwa sejak tahun 2000, 70% praktisi Public Relations
adalah perempuan (dikutip dalam Smith, 2005).
Trend semacam ini tentunya tidak muncul tanpa sebab. Pada bagian selanjut -nya dari tulisan
ini, pertama-tama akan di-uraikan tentang perkembangan profesi Public Relations dan bagaimana
ia tumbuh menjadi salah satu profesi yang paling diminati dan didominasi perempuan.
Selanjutnya juga akan dipaparkan bagaimana, seiring berjalannya waktu, dan juga dengan
semakin identiknya profesi ini dengan perempuan, profesi Public Relations perlahan-lahan
mengalami penurunan status dan pelecehan profesi.
Feminisasi dan Pelecehan
Profesi Berjender Feminin
Public Relations bisa dikatakan sebuah profesi yang relatif baru. Walaupun literatur -literatur
‘klasik’ Public Relations banyak mengklaim bahwa kegiatan / praktik Public Relations telah
dilakukan bahkan sejak jaman Romawi dan Yunani, namun sebagai profesi ia baru berkembang
pada akhir abad 19 dari apa yang pada waktu itu dikenal sebagai ‘ press agent’ (Cutlip,et al, 1994;
Baskin, et al, 1997; Grunig & Hunt, 1984). Public Relations menjadi booming pada pertengahan
abad 20 seiring dengan berkembang pesatnya industri komunikasi seperti perfilman,
pertelevisian, dan periklanan. Media massa telah tumbuh menjadi alat yang efektif untuk mem -
peroleh popularitas, memenangkan pengaruh, dan meningkatkan citra.
Perusahaan, artis, bahkan politisi pun berlomba -lomba memanfaatkan jasa Public Relations
untuk membuat mereka menjadi lebih dikenal, lebih punya pengaruh, dan lebih berreputasi.
Dengan image yang identik dengan keglamoran, lampu sorot, event-event eksklusif, liputan media
massa, profesi Public Relations berkembang menjadi sebuah profesi yang bergengsi dan
mentereng, dengan praktisi Public Relations tak jarang menjadi selebriti itu sendiri.
Dengan perkembangan seperti ini, banyak perusahaan berpikir bahwa akan jauh lebih
menguntungkan bagi perusahaan jika ‘wajah’ perusahaan adalah seorang perempuan yang atraktif
dan menarik. Rea (2002) menyatakan bahwa dengan semakin besarnya jumlah perempuan yang
memasuki profesi Public Relations, tak bisa dipungkiri lagi bahwa, “ The face of Public Relations
is female.” (2002; 1).
Tingginya permintaan akan praktisi Public Relations perempuan dengan sendirinya diikuti
oleh semakin besarnya jumlah mahasiswa perempuan yang memilih me masuki jurusan Public
Relations di universitas-universitas. Beberapa penelitian yang telah dilakukan (Smith, 2005;
Andsager & Hust, 2005) menya -takan bahwa di Amerika Serikat saja diperoleh data bahwa
hampir 80% mahasiswa jurusan Public Relations adalah perempuan dan para staf pengajar
menyatakan bahwa “...teaching Public Relations is almost like teaching in a women’s college. ..”
(Smith, 2005; 2). Di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga sendiri, sebagian
besar mahasiswa adalah perempuan (deng an perbandingan jumlah mahasiswa perempuan dan
laki-laki 4:1 untuk setiap angkatan), yang rata -rata beraspirasi untuk ‘menjadi PR’ ketika ditanya
mengapa memilih masuk jurusan Ilmu Komunikasi.
Hal ini tampaknya dipicu oleh semacam persepsi yang mengangg ap bahwa keahlian yang
dibutuhkan dalam profesi Public Relations adalah keahlian yang dianggap ‘khas perempuan’.
Grunig, Hon, dan Toth (dalam Mackey, 2003:5) menyatakan, “... feminist values such as caring,
cooperation, intuition, commitment, sensitivity, r espect,...are the norms of Public Relations .”
Mereka seolah ingin menegaskan bahwa dengan nilai -nilai inheren seperti itulah yang membuat
profesi Public Relations dipersepsi ‘lebih sesuai’ untuk per -empuan. Public Relations memang
mem-butuhkan keterampilan berkomunikasi (communication competence) yang baik,
kemampuan dan kemauan untuk lebih banyak mendengarkan, berempati, berkomitmen untuk
membangun hu-bungan dengan publik yang saling menguntungkan, hal -hal mana yang menurut
Wood (2005) memang telah menjadi sifat ‘natural’ perempuan (berempati, berkomunikasi,
berkomitmen dalam membangun hubungan). Dengan karakteristik seperti inilah bidang Public
Relations menjadi lebih diminati oleh perempuan.
Fenomena seperti inilah yang membuat beberapa pengamat menyataka n bahwa Public
Relations tengah mengalami ‘feminisasi’ ( femininized) (Toth, 2001; Rea, 2002). Besarnya jumlah
perempuan di industri Public Relations tidaklah menjadi masalah sepanjang keberadaan mereka
tidak berimplikasi pada menurunnya status Public Relations sebagai sebuah profesi. Toth lebih
lanjut menyatakan bahwa ada semacam kekhawatiran dari praktisi Public Relations (pria) bahwa
kondisi ini telah menjadi sebuah ancaman bagi status profesi Public Relations. Ia mengutip
ungkapan dari Lesly (Toth, 2001) , seorang praktisi Public Relations yang telah punya nama
bahwa,
“...the impact of a largely female field would have consequences such as
creating the image of Public Relations as soft, rather than a heavy-hitting,
top management function...” (hal. 240).
Hasil penelitian yang lain tampaknya mau tidak mau harus diakui seolah mendukung
kekhawatiran tersebut. Xavier, (2006) dalam penelitiannya mengungkap -kan bahwa sebagian
besar mahasiswa jurusan Public Relations berkeinginan untuk bekerja di bidang publisit as dan
promosi yang biasanya identik dengan dunia entertainment yang gemerlap.
Hal senada juga diungkapkan oleh Andsager & Hust (2005) yang menyatakan bahwa sebagian
besar praktisi Public Relations perempuan bekerja di bidang beauty/fashion. Hal inilah yang
tampaknya semakin menegaskan citra bahwa Public Relations adalah bidang yang ‘tidak serius’,
glamor dan penuh hura-hura, serta hanya mementingkan penampilan luar belaka.
Anggapan tersebut tampaknya lantas menjadi sebuah ironi jika kita menelaah kembali tentang
pengertian Public Relations di berbagai literatur akademis. Pengertian paling dasar dari Public
Relations adalah,
“The management function which evaluates public attitudes, identifies the policies and procedures of an
individual or an organization with the public interest, and plans and executes a program of action to
earn public understanding and acceptance.” (Cutlip, et al, 1994).
Dari pengertian tersebut bisa dilihat bahwa penekanan peran Public Relations ada pada
fungsinya sebagai sebuah fungsi manajemen. Sebagai sebuah fungsi manajemen, Public Relations
memiliki kedudukan, fungsi, peran dan status yang sama dengan fungsi -fungsi manajerial yang
lain seperti manajemen sumber daya manusia, manajemen pemasaran, atau manajemen keuangan.
Grunig (1984) bahkan menyebutkan bahwa Public Relations merupakan bagian dari dominant
coalision dalam perusahaan dan karena-nya memiliki kewenangan cukup besar untuk melakukan
pengambilan keputusan.
Posisi Public Relations yang sangat erat berkaitan dengan ‘ top management’ , serta perannya
yang besar dalam mempengaruhi pengambilan keputusan -keputusan penting dalam perusahaan
menjadikannya sebuah profesi yang bergengsi. Karenanya adalah sebuah keberhasilan tersendiri
bagi perempuan untuk bisa mendominasi profesi pr estisius semacam itu. Dengan maraknya
anggapan bahwa fungsi-fungsi manajerial di sebuah perusahaan adalah ‘ male dominated area’,
dimana posisi manajer identik dengan laki -laki, maka masuknya praktisi perempuan kedalam
Public Relations menjadi sebuah jalan yang membuka kesempatan bagi perempuan untuk
menduduki posisi-posisi puncak dalam perusahaan. Public Relations dianggap sebagai salah satu
profesi yang mampu mengantarkan perempuan mengisi kedudukan penting dalam perusahaan.
Seperti telah banyak diketahui , walaupun dari segi kuantitas perempuan boleh dikatakan telah
mendapat akses yang cukup terbuka untuk memasuki dunia kerja, namun dari segi kualitas masih
perlu dipertanyakan lagi. Walaupun jumlah angkatan kerja perempuan telah cukup besar, namun
dalam kenyataannya bahwa posisi -posisi penting yang terdapat di perusahaan masih tetap
didominasi oleh pria tidak bisa dipungkiri. Sebuah fenomena yang dikenal sebagai the glass
ceiling phenomenon. Menurut Morisson dan von Glinow (Miller 2003:246):
“The glass ceiling is a concept popularized in the 1980’s to describe a barrier so subtle that it is
transparent, yet so strong that it prevents women and minorities from moving up in a management
hierarchy.”
Kondisi semacam inilah yang kadangkala menghambat perem puan dalam memasuki/mengisi
posisi-posisi penting dalam perusahaan. Keberhasilan Public Relations sebagai salah satu profesi
yang berhasil mendobrak hambatan tersebut bagi perempuan layak diacungi jempol. Namun
tampaknya perempuan tidak bisa berlama -lama menikmati kesuksesan ini.
Terfeminisasinya profesi Public Relations tampaknya harus dibayar dengan pelecehan dan
‘peminggiran sistematis’ terhadap profesi ini.
Fenomena ‘The Velvet Ghetto’ dan Prospek Perkembangan Profesi Public Relations
Ketika jumlah perempuan yang menjadi praktisi Public Relations meningkat, maka secara
otomatis pula jumlah laki -laki yang memasuki profesi ini menurun. Menurut Toth dalam
penelitiannya yang dilakukan pada tahun 2000, di Amerika Serikat jumlah laki -laki yang
menekuni profesi ini hanya sekitar 30%. Sementara itu angka yang sama juga ditunjukkan dalam
survey yang dilakukan di Australia (dikutip dalam Smith, 2005:5).
Berkurangnya jumlah laki -laki ini tampaknya diikuti pula dengan menurunnya status Public
Relations. Fenomena penurunan status Public Relations ini memang masih problematis. Dalam
artian bahwa memang tidak bisa ditarik kesimpulan begitu saja bahwa penurunan status ini
berkorelasi secara langsung dengan meningkat pesatnya jumlah perempuan yang memasuki
industri ini.
Namun begitu terdapat beberapa bukti yang bisa menjadi indikasi bahwa Public Relations
memang tengah mengalami penurunan status dan pelecehan profesi, yang pertama adalah hasil
yang di-ungkapkan dari penelitian yang disebut sebagai The Velvet Ghetto Studies. Penelitian
yang dilakukan oleh Cline (Toth, 2001) ini menyatakan bahwa besarnya jumlah perempuan di
industri Public Relations telah membuat profesi ini dilabeli sebagai a safe place:
“...a velvet ghetto where women managers could be counted as such but would not threaten men for
competition for top management jobs ” (Toth, 2001:245)
Divisi Public Relations di perusahaan telah menjadi sebuah ghetto yang kendati pun terbuat
dari beludru, namun tetap saja merupakan tempat untuk ‘membuang’ serta m emisahkan
profesional-profesional perempuan, sebuah praktik segregasi yang tersamar agar mereka tidak
memasuki posisi lain yang telah didominasi pria. Dengan adanya ghetto beludru ini, perusahaan
bisa mengklaim seolah telah memberlakukan ‘ affirmative action’ kepada perempuan selaku
kelompok minoritas, dan karenanya terbebas dari tuduhan telah berlaku diskriminatif. Senada
hasil penelitian The Velvet Ghetto Studies, Smith (2005:3) juga mencurigai,
“...some traditional male-dominated organizations like to have women ‘around’ at middle management
level (non-threatening) and see Public Relations as a way to achieve this .”
Yang kedua adalah adanya bukti -bukti bahwa profesi Public Relations itu sendiri tengah
menurun reputasinya. Salah satu penyebabnya adalah terlanjur melekatnya image bahwa profesi
ini adalah sebuah profesi yang soft, profesi yang ‘tidak serius’, yang hanya berkutat di seputar
fashion, industri kecantikan, dan sejenisnya. Selain itu ada sejumlah pendapat yang menyatakan
bahwa Public Relations adalah sebuah profesi yang less ethical dan less trustworthy (Brody, 1984
sebagaimana dikutip dalam Sinaga & Wu, 2007:72). Sedemikian buruknya citra Public Relations,
bahkan praktisinya sendiri enggan menggunakan kata Public Relations untuk menggambarkan
tugas mereka sehari-hari (Tilley, 2005:2), lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa:
“The name Public Relations also appear to be a significant and growing barrier to credibility in
communication. Nothing tarnishes a statement faster than the suggestion that it has its source prom
Public Relations .”
Brown (Smith, 2005:6) juga mengung -kapkan bahwa sebagai sebuah profesi, Public
Relations bisa dikatakan sebagai ‘less respected’ terutama jika dibandingkan dengan profesi
komunikasi lainnya seperti jurnalistik. Hal ini, ironisnya, menurut Brown lebih lanjut adalah
justru menjadi faktor mengapa bidang ini lebih mudah dimasuki oleh perempuan untuk
mengembangkan karir.
Fenomena-fenomena The Velvet Ghetto seperti yang itulah yang menunjukkan bahwa profesi
Public Relations memang tengah mengalami pelecehan dan dipinggirkan secara sistematis
(systematically marginalized). Terlebih lagi banyak praktik diskriminasi jender ternyata juga
masih ditemukan dalam profesi Public Relations. Dengan dianggapnya Public Relations sebagai
sebuah profesi yang feminin, ternyata berdampak pada menurunnya ‘ income level’ profesi ini,
salah satu faktor yang bisa dianggap sebagai pemicu sedikitnya laki -laki yang tertarik pada
profesi Public Relations.
Selain itu juga ditemukan fakta bahwa meskipun jumlah perempuan mendomi -nasi, namun
ternyata kebanyakan dari mereka hanya menduduki posisi -posisi sebagai teknisi (middle & lower
level management) Public Relations dan bukannya menduduki posisi -posisi manajemen lini atas
(upper level management) (Toth, 2001:240).
Dari apa yang telah dikemukakan di muka, bisa kita lihat bahwa banyak permasalahan yang
dihadapi Public Relations sebagai sebuah profesi. Namun begitu memang masih harus
dipertanyakan lagi apakah pelecehan profesi yang tengah melanda Public Relations ini bisa
dikatakan disebabkan oleh dominannya jumlah perempuan di profesi ini dan karenanya profesi ini
dianggap sebagai sebuah profesi yang ‘feminin’? Atau justru sebaliknya, karena profesi ini
tengah mengalami penurunan status, maka perempu an menjadi ‘lebih mudah’ untuk mema -
sukinya dibanding dengan profesi -profesi lainnya yang masih diminati oleh laki -laki?
Tampaknya memang diperlukan studi dan penelitian yang komprehensif untuk bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini. Namun apa yang dikemukakan Morisson & von Glinow (Miller,
2003) mungkin bisa memberikan jawaban sementara. Menurut mereka, apa yang tengah dialami
oleh profesi Public Relations ini disebut sebagai systemic barrier yang seringkali memang
dialami baik oleh perempuan di dunia ke rja maupun oleh profesi-profesi lainnya yang didominasi
perempuan.
Kondisi yang semacam ini tentu saja akan berimplikasi pada masa depan dan kelangsungan
serta citra profesi Public Relations. Karenanya perlu dipikirkan langkah -langkah strategis untuk
meng-hapuskan praktik pelecehan profesi sehingga reputasi Public Relations bisa kembali
meningkat. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut: pertama, berusaha
menghapus image bahwa pekerjaan-pekerjaan manajerial adalah pekerjaan yang hanya
membutuhkan ‘masculine qualities’ seperti berpikir logis, bersikap tegas, disiplin yang tinggi,
berpikir strategis dan sebagainya.
Sebaliknya perlu mulai disosialisasikan bahwa ‘sifat -sifat feminin’ seperti kemam-puan
menjadi pendengar yang baik, me -miliki communication competence, sensitif, memiliki
kepedulian tinggi, serta bisa berempati juga diperlukan dan dihargai tinggi dalam dunia bisnis.
Dengan demikian, profesi -profesi yang mungkin lebih banyak memerlukan ‘sifat -sifat feminin’
seperti Public Relations tidak perlu mengalami feminisasi dan pelecehan serta penurunan status.
Kedua, perlu diinformasikan kepada mereka yang berminat untuk menekuni profesi Public
Relations bahwa profesi ini tidak melulu identik dengan kehidupan yang glamor dan gemerlap
belaka. Informasi semacam ini bahkan perlu disampaikan sedari awal kepada para mahasiswa
yang belajar mengenai Public Relations di universitas. Public Relations bisa ditemukan di banyak
bidang. Selain dunia entertainment, banyak perusahaan atau organisasi lain yang memerlukan
jasa Public Relations.
Organisasi-organisasi pendidikan, organisasi non profit seperti LSM dan Yayasan sosial dan
kemanusiaan, rumah sakit, bahkan lembaga -lembaga militer adalah bidang-bidang yang jarang
dirambah praktisi Public Relations yang profesional. Dengan demikian pekerjaan Public
Relations akan memasuki bidang-bidang yang lebih luas dan tidak hanya terkonsentrasi pada
bidang-bidang tertentu.
Ketiga, perlu sebuah upaya serius untuk mendorong diterapkannya etika profesi pada Public
Relations. Perlu dipikirkan juga bagaimana agar penerapan etika profesi Public Relations bisa
lebih efektif. Harris, et al, (2002) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Yang
pertama adalah dengan membekali institusi pendidikan Public Relations dengan kurikulum
tentang etika yang cukup komprehensif. Termasuk yang perlu dilakukan disini adalah membahas
konsep-konsep yang tampaknya mendasar dari kajian Public Relations dari sudut pandang etika.
Selain itu adalah mengelaborasi penerapan advocacy ethics dan situational ethics yang selama
ini sering diperdebatkan esensinya. Yang kedua dengan mem -perkuat aspek hukum (punative
aspect) dari penerapan etika profesi. Ketiga, adalah menggalang dukungan dari kelompok
profesional. Adanya kesadaran dari para praktisi Public Relations untuk menerap-kan etika
profesi diharapkan akan dapat meningkatkan profesionalisme para praktisi dalam bekerja
sehingga image bahwa Public Relations adalah profesi yang ‘less ethical’, ‘less trustworthy’ dan
‘less respected’ dapat dikikis.
Kesimpulan
Dari apa yang sudah diuraikan ini bisa dilihat bahwa tantangan kaum perempuan dan profesi yang
dianggap identik dengan perempuan tidaklah sedikit. Diperlukan kekritisan yang terus -menerus
untuk mampu benar-benar melihat isu-isu yang dihadapi perempuan di dunia kerja serta tidak
mudah menganggap semuanya adalah situasi yang taken for granted.
Isu pelecehan profesi yang dikemuka -kan disini ini bisa dikatakan merupakan sebuah isu yang
samar, jika dibandingan dengan isu -isu perempuan yang lain. Karenanya upaya -upaya untuk
mengha-puskan systemic barrier yang seringkali ‘tidak kasat mata’ perlu mendapatkan du -
kungan terus-menerus dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Albrecht, T. L & B.W. Bach, Communication in Complex Organization: A R elational Approach
(Forth Worth, TX: Harcourt Brace, 1997).
Andsager, J.L. & Hust, S., “Differential gender orientation in Public Relations: Implications for
career choices,” dalam Public Relations Review (31) 1 , 85-91, 2005.
Baskin, O, Aronoff, C, & D. Lattimore, Public Relations: The Profession And The Practice 4th
ed., (Madison: Brown & Benchmark, 1997).
Cutlip, S.M., Center, A.H., & G.M. Broom, Effective Public Relations 7th ed. Englewood Cliffs,
NJ: Prentice Hall, 1994).
Grunig, J. & T. Hunt, Managing Public Relations. (New York: Holt, Rhinehart, & Winston,
1984).
Harris, R. & D. McKie, “Managing Public Relations Reputation Academic Issues and Social
Projects.” dalam 6th Annual Conference on Corporate Reputation , (Boston Massachusetts:
23-25 Mei 2002) makalah.
Ibrahim, I.S. & H. Suranto (eds.), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang
Publik Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1998).
Mackey, S., “Changing Vistas in Public Relations Theory,” dalam Prism (1) 1, 2003,
http://praxis.massey.ac.nz/fileadmin/Praxis/Files/Journal_Files/issue1/refereed_articles_paper
3.pdf. diakses 10 Juni 2007.
Miller, K., Organizational Communication: Approaches & Processes 3th. ed., (Belmont, CA:
Thomson Wadsworth, 2003).
Rea, J., “The Feminisation of Public Relations: What’s in it for the Girls?,” dalam Australian and
New Zealand Communication Association Conference (Bond University Australia. Juli 2002).
Sinaga, S.T., & D.H. Wu, “Predicting Indonesian Journalists’ Use Of Public Relations-Generated
News Material,” dalam Journal of Public Relations Research , 19 (1), 69-90, 2007.
Smith, G., “A Few Good Men: Gender Balance in the Western Australia Public Relations
Industry,” dalam Prism 3, 2005 (http://pr -
axis.massey.ac.nz/fileadmin/Praxis/Files/Journal_Files/Issue3/s mith.pdf). Diakses 5 Agustus
2007).
Solnit, R. “Walking after Midnight: Women, Sex, & Public Space,” dalam Wanderlust: A History
of Walking, (London: Viking, 2000).
Tilley, E. “Commentary: What’s in A Name? Everything. The Appropriateness of Public
Relations needs Further Debates,” dalam Prism 3, 2005, (http: praxis.massey.ac.nz.) Diakses
10 Juni 2007.
Toth, E.L., “How Feminist Theory Advanced the Practice of Public Relations,” dalam R. L.
Heath (ed)., Handbook of Public Relations, (London: Sage Publications, 2001).
Wood, J.T., Gendered Lives: Communication, Gender, & Culture , (Belmont, CA: Thomson
Wadsworth, 2005).
Xavier, R., Mehta, A.M., & I.K. Larkin, “Great Expectations: Understanding Undergraduate
Students’ Perspectives on Public Relations Career,”. Proceedings, Australian and New
Zealand Communication Association Conference , (Adelaide Australia, Juni 2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar