Mengatasi
Anak-Anak Penderita Gangguan Prilaku
Perilaku Agresif
secara psikologis berarti
cenderung (ingin) menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang
mengecewakan, menghalangi atau menghambat (KBBI: 1995: 12). Perilaku ini dapat
membahayakan anak atau orang lain.
misalnya, menusukan pensil yang runcing ke tangan temannya, atau
mengayun-ngayunkan tasnya sehingga mengenai orang yang berada di sekitarnya.
Ada juga anak yang selalu memaksa temannya untuk melakukan sesuatu yang ia
inginkan, bahkan tidak sedikit pula anak yang mengejek atau membuat anak lain
menjadi kesal.
Agresif terjadi pada masa perkembangan. Perilaku agresif sebenarnya sangat jarang ditemukan pada anak yang
berusia di bawah 2 tahun. Namun, ketika anak memasuki usia 3-7 tahun, perilaku agresif menjadi bagian dari tahapan perkembangan
mereka dan sering kali menimbulkan masalah, tidak hanya di rumah tetapi juga
disekolah. Diharapkan setelah melewati usia 7 tahun, anak sudah lebih dapat
mengendalikan dirinya untuk tidak menyelesaikan masalah dengan perilaku
agresif. Tetapi, bila keadaan ini menetap, maka ada indikasi anak mengalami
gangguan psikologis.
Karakteristik
Perilaku Agresif
Secara umum, yang dimaksud dengan gangguan emosi dan perilaku adalah ketidakmampuan yang ditunjukan dengan respons emosional atau perilaku yang berbeda dari usia sebayanya,
budaya atau norma sosial. Ketidakmampuan tersebut akan mempengaruhi prestasi
sekolah yaitu prestasi akademik, interaksi sosial dan ketrampilan pribadinya.
Ketidakmampuan ini sifatnya menetap dan akan lebih tampak bila sang anak berada
dalam situasi yang dirasakan menegangkan olehnya.
Gangguan emosi dan perilaku dapat saja muncul bersama gangguan
psikologis lain, misalnya ADD ( Attention Deficit Disorder) yaitu
gangguan pemusatan pikiran (GPP) atau ADHD ( Attention Dificit and
Hyperactive Disorder)yaitu gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas
( GPPH) ataupun retardasi mental.
Faktor
Penyebab Anak Berperilaku Agresif
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat (dalam
Masykouri, 2005: 12.7) sekitar 5-10% anak usia sekolah menunjukan perilaku agresif. Secara umum, anak laki-laki lebih banyak
menampilkan perilaku agresif, dibandingkan anak perempuan. Menurut penelitian,
perbandingannya 5 berbanding 1, artinya jumlah anak laki-laki yang melakukan
perilaku agresif kira-kira 5 kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan.
Lebih
lanjut Masykouri menejelaskan, penyebab perilaku agresif diindikasikan oleh empat faktor utama yaitu
gangguan biologis dan penyakit, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
pengaruh budaya negatif. Faktor-faktor penyebab ini sifatnya
kompleks dan tidak mungkin hanya satu faktor saja yang menjadi penyebab
timbulnya perilaku agresif.
A. Faktor Biologis
Emosi
dan perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor genetic, neurologist atau
faktor biokimia, juga kombinasi dari faktor ketiganya. yang jelas, ada hubungan
antara tubuh dan perilaku, sehingga sangat beralasan untuk mencari penyebab
biologis dari gangguan perilaku atau emosional. misalnya, ketergantungan ibu
pada alcohol ketika janin masih dalam kandungan dapat menyebAnak berkebutuhan
khususan berbagai gangguan termasuk emosi dan perilaku. Ayah yang peminum
alkohol menurut penelitaian juga beresiko tinggi menimbulkan perilaku agresif
pada anak. Perilaku agresif dapat juga muncul pada anak yang orang tuanya
penderita psikopat (gangguan kejiwaan).
Semua
anak sebenarnya lahir dengan keadaan biologis tertentu yang menentukan gaya
tingkah laku atau temperamennya, meskipun temperamen dapat berubah sesuai
pengasuhan. Selain itu, penyakit kurang gizi, bahkan cedera otak, dapat menjadi
penyebab timbulnya gangguan emosi atau tingkah laku.
B. Faktor Keluarga
Faktor
keluarga yang dapat menyebAnak berkebutuhan khususan perilaku agresif dapat
diidentifikasikan seperti berikut.
- Pola asuh orang tua yang menerapkan disiplin dengan tidak konsisiten. Misalnya orang tua sering mengancam anak jika anak berani melakukan hal yang menyimpang. Tetapi ketika perilaku tersebut benar-benar dilakukan anak hukuman tersebut kadang diberikan kadang tidak, membuat anak bingung karena tidak ada standar yang jelas. hal ini memicu perilaku agresif pada anak. Ketidakonsistenan penerapan disiplin jika juga terjadi bila ada pertentangan pola asuh antara kedua orang tua, misalnya si Ibu kurang disiplin dan mudah melupakan perilaku anak yang menyimpang, sedang si ayah ingin memberikan hukuman yang keras.
- Sikap permisif orang tua, yang biasanya berawal dari sikap orang tua yang merasa tidak dapat efektif untuk menghentikan perilaku menyimpang anaknya, sehingga cenderung membiarkan saja atau tidak mau tahu. Sikap permisif ini membuat perilaku agresif cenderung menetap.
- Sikap yang keras dan penuh tuntutan, yaitu orang tua yang terbiasa menggunakan gaya instruksi agar anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu, jarang memberikan kesempatan pada anak untuk berdiskusi atau berbicara akrab dalam suasana kekeluargaan. Dalam hal ini muncul hukum aksi-reaksi, semakin anak dituntut orang tua, semakin tinggi keinginan anak untuk memberontak dengan perilaku agresif.
- Gagal memberikan hukuman yang tepat, sehingga hukuman justru menimbulkan sikap permusuhan anak pada orang tua dan meningkatkan sikap perilaku agresif anak.
- Memberi hadiah pada perilaku agresif atau memberikan hukuman untuk perilaku prososial.
- Kurang memonitor dimana anak-anak berada
- Kurang memberikan aturan
- Tingkat komunikasi verbal yang rendah
- Gagal menjadi model yang
- Ibu yang depresif yang mudah marah
C. Faktor Sekolah
Beberapa
anak dapat mengalami masalah emosi atau perilaku sebelum mereka mulai masuk
sekolah, sedangkan beberapa anak yang lainnya tampak mulai menunjukkan perilaku
agresif ketika mulai bersekolah. Faktor sekolah yang berpengaruh antara lain:
1) teman sebaya, lingkungan sosial sekolah, 2) para guru, dan 3) disiplin
sekolah.
- Pengalaman bersekolah dan lingkungannya memiliki peranan penting dalam pembentukan perilaku agresif anak demikian juga temperamen teman sebaya dan kompetensi sosial
- Guru-guru di sekolah sangat berperan dalam munculnya masalah emosi dan perilaku itu. Perilaku agresifitas guru dapat dijadikan model oleh anak.
- Disiplin sekolah yang sangat kaku atau sangat longgar di lingkungan sekolah akan sangat membingungkan anak yang masih membutuhkan panduan untuk berperilaku. Lingkungan sekolah dianggap oleh anak sebagai lingkungan yang memperhatikan dirinya. Bentuk pehatian itu dapat berupa hukuman, kritikan ataupun sanjungan.
D. Faktor Budaya
Pengaruh
budaya yang negatif mempengaruhi pikiran melalui penayangan kekerasan yang ditampilkan
di media, terutama televisi dan film. Menurut Bandura (dalam Masykouri, 2005:
12.10) mengungkapkan beberapa akibat penayangan kekerasan di media, sebagai
berikut.
- Mengajari anak dengan tipe perilaku agresif dan ide umum bahwa segala masalah dapat diatasi dengan perilaku agresif.
- Anda menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan rintangan terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak lumrah dan bisa diterima.
- Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan dan penderitaan (menumpulkan empati dan kepekaan sosial).
- Membentuk citra manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk hidup.
Akibat
sering nonton salah satu kartun, dan film robot di beberapa stasiun TV, anak
cenderung meniru tokoh tersebut dan selain itu juga meniru perilaku saudara
sepupu teman sepermainannya. Terkadang orang tua melarang putra – putrinya
untuk menonton film – film kartun dan film robot tersebut tentunya dengan
memberikan penjelasan, tetapi belum membuahkan hasil yang maksimal.
Selain
itu, faktor teman sebaya juga merupakan sumber yang paling mempengaruhi anak.
Ini merupakan faktor yang paling mungkin terjadi ketika perilaku agresif
dilakukan secara berkelompok. Ada teman yang mempengaruhi mereka agar melakukan
tindakan-tindakan agresif terhadap anak lain. Biasanya ada ketua kelompok yang
dianggap sebagai anak yang jagoan, sehingga perkataan dan kemauanya selalu
diikuti oleh temannya yang lain. Faktor-faktor tersebut di atas sangat kompleks dan saling mempengaruhi satu sama
lain.
Tips
Menangani Anak Agresif
Untuk membahas permasalahan agresif yang telah dibahas penulis menggunakan Teori Pembentukan Tingkah
laku sebagaimana disampaikan oleh Eniarti, Budi Pratiti, Cecep Sugeng K
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Mereka menyebutkan bahwa perilaku anak dapat dibentuk melalui
pengalaman maupun pengamatan. Teori ini mengemukakan tiga proposisi tentang
pembentukan perilaku yaitu: (1) Perilaku diperkuat oleh reinforcement,
(2) Perilaku yang mendapat reinforcement secara konsisten akan lebih
kuat terbentuk, (3) perilaku baru dapat dipelajari melalui modeling. Perilaku
terjadi sebagai hasil dari saling peran antara faktor kognitif dan lingkungan,
suatu konsep yang dikenal sebagai mekanisme timbal balik (reciprocal
determinism).
Orang
belajar dengan mengobservasi orang lain, baik secara disengaja maupun tidak
disengaja yang dikenal sebagai modelling atau belajar melalui peniruan.
Jika model yang dipilih mencerminkan norma dan nilai-nilai yang sehat,
seseorang mengembangkan kemanjuran diri (self efficacy), yaitu kemampuan
untuk mengadaptasi kehidupan setiap hari yang normal dan situasi yang
mengancam.
Ada
beberapa rambu-rambu alternatif pemberian tindakan
kepada anak yang berperilaku agresif seperti
berikut.
A. Memberi Hukuman yang
Efektif Kepada Anak
Pertama, Memberi pelajaran kepada anak agar dapat berperilaku baik
tidak perlu dengan cara kekerasan, dengan pukulan. Memukul adalah bukan cara
yang baik untuk menghentikan perilaku buruk anak. Justru boleh jadi hanya akan
membuat anak merasa bingung, kecewa dan terluka bathinnya. Ia tidak akan
percaya bahwa orang yang selama ini dianggap sebagai tempatnya berlindung dan
mendapatkan kasih sayang ternyata berbuat kasar terhadapnya.
Kedua, Pukulan yang dilakukan orangtua dapat menghentikan
perilaku buruk anak. Tetapi boleh jadi hanya untuk sementara, pada saat itu
saja. Anak akan taat kepada orangtua karena perasaan takut dipukul, bukan
karena ia memahami permasalahan yang sebenarnya terjadi. Sedangkan untuk jangka
panjang mungkin saja anak akan mengulangi lagi perbuatan buruknya, bahhkan
boleh jadi lebih buruk dari sebelumnya. Ia akan melakukan pembalasan terhadap
orangtuanya dengan cara melakukan tindakan yang dapat membuat orang tua merasa
pusing, jengkel, malu dan terganggu aktivitasnya.
Ketiga, Ada banyak alternatif hukuman fisik yang lebih efektif
daripada pukulan. Di antaranya, memperingatkan dengan kata-kata,
menyingkirkan mainan kesukaannya, membatasi penggunaan televisi, komputer,
sepeda, atau aktivitas menarik lainnya. Selain itu, bawa dia ke tempat
‘menenangkan diri’ yang berbeda dari kamar tidurnya; bisa di pojok ruangan,
kursi khusus, atau dengan cara menidurkannya lebih awal (Deborah K. Parker
M.Ed, 2005).
B. Menghadapi Anak Yang
Suka Agresif Mengamuk Di Depan Umum
Kita
pastinya tidak ingin bermasalah dengan orang lain di tempat umum hanya
gara-gara anak kita. Ada beberapa cara untuk menghadapi anak yang suka agresif
di depan umum.
- Perlu adanya pengertian dan kesabaran orangtua.
- Tidak perlu dengan cara kekerasan fisik. Tenangkanlah anak dengan pelukan. Tanyakan kepadanya apa yang ia inginkan dan pastikan kepadanya bahwa orangtua akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya.
- Apabila orangtua memiliki acara untuk pergi ke luar rumah sebelum berangkat orangtua membuat perjanjian dulu dengannya. Hal ini perlu dilakukan supaya anak mengerti dan dapat menjaga sikap ketika ia sedang berada di depan umum. Bicarakanlah konsekuensinya apabila anak melanggar janji. Namun, jika anak mampu menjaga sikapnya dengan baik di depan umum maka tidak ada salahnya orangtua memberikan pujian, pelukan, ciuman, atau mungkin memberikan hadiah kecil yang ia sukai .
- Jika agresifitas itu ke hal yang positif, cara mengatasinya, biarkan saja si anak melakukan apa yang di inginkannya tapi perlu pengarahan, pengawasan dan jangan terlalu banyak melarang kemauannya yang positif, takutnya justru “membunuh” kreatifitas dan daya imajinasinya karena anak seusia ini lagi dalam proses penjajakan lingkungan, penyesuain diri, mungkin bisa di bilang masa “puber” anak balita”, yang bisa kita lakukan hanya meminimalkan efeknya.
- Bertingkah agresif yang mengarah ke kreativitas anak boleh saja (tidak terhitung barang – barang di rumah yang rusak oleh anak-anak), tapi memukul, menyakiti orang lain dan bersikap tidak sopan adalah lain soal. Juga, kalau merusaknya karena mereka curious, karena rasa keingintahuannya tidak masalah. Misalnya karena anak ingin mengetahui apa jadinya kalau es lilin dimasukkan ke dalam gelas yang berisi teh? Tapi kalau sengaja membanting gelas karena marah atau karena kemauannya tidak dituruti, itu berarti ada masalah besar dengan si anak.
- Larangan bermain bersama. Anak yang sudah terlihat gejala agresif mereka kita kelompokkan tersendiri.
- Untuk memperbaiki perilaku agresif bukannya dicampur dengan anak yang kalem, apalagi kalau anak kalem itu lebih introvert, dengan harapan yang agresif akan jadi kalem. Barangkali tidak begitu, justru akan menyebAnak berkebutuhan khususan rasa tidak aman bagi perkembangannya.
Mengacu
pada tindakan-tindakan di atas, penanganan anak dengan perilaku agresif harus
diperhatikan juga penanganan atas anak yang menjadi korban perilaku tersebut.
Tidak jarang, ada sekelompok anak yang selalu menjadi korban dari para jagoan,
karena ketidakmampuannya untuk mempertahankan atau membela diri dari perilaku
agresif teman yang lain.
Penanganan
terhadap anak yang berperilaku agresif harus dilaksanakan secara menyeluruh, artinya semua pihak
harus terlibat, termasuk orang tua, guru dan lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan
uraian pembahasan cara penanganan terhadap anak berperilaku agresif di atas
dapat disimpulkan bahwa penanganan terhadap anak yang berperilaku agresif harus dilaksanakan secara menyeluruh, artinya semua pihak
harus terlibat, termasuk orang tua, guru dan lingkungan sekitarnya. Beberapa
alternatfi penanganan terhadap anak berperilaku aresif dengan memberi hukuman
yang efektif kepada anak dan perlu adanya pengertian dan kesabaran orangtua.
Daftar
pustaka
Makalah
Fsikologi Pendidikan
Mengatasi Anak-Anak Penderita
Gangguan Prilaku
Dosen :
Disusun oleh:
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar