Rabu, 28 Desember 2011

mediaSI KONFLIK CONTOH KASUS Mediasi Perbankan, Penyelesai Sengketa Tahap Dini


Mediasi Perbankan, Penyelesai Sengketa Tahap Dini
Oleh : M.AWALUDIN
M.AWALUDIN
Apa modal paling besar lembaga perbankan? Uang? Aset? Menurut Marzuki Usman, (Sinar Harapan/2005), modal utama bank adalah kepercayaan (trust)
Karena itu bisa ia kehilangan kepercayaan, bank bisanya langsung goyang dan sempoyongan. Nasabah tiba-tiba menggelontorkan kembali uang yang sudah ditaruhnya di sebuah bank manakala dia dengar bank itu terancam. Sebenarnya bukan bank yang terancam, tetapi dalam mindset nasabah, merekalah yang terancam.
Ancaman-ancaman demi acaman sebenarnya dari waktu ke waktu sudah melanda perbankan nasional kita. Sejak sejumlah bank ambruk di pengujung orde baru hingga sejumlah isu yang membikin nasabah melakukan rush massal telah menjadi pelajaran berharga bagi para bankir untuk menggelindingkan roda banknya menuju tahun-tahun mendatang.
Bahwa kepercayaan adalah sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar pula. Kredibilitas memang pertaruhan para bankir untuk membawa banknya sebagai bank yang sesungguhnya. Kepercayaan itu tidak saja lantaran publik menaruh uangnya untuk dikelola oleh para bankir, tetapi juga karena publik memanfaatkan uang bank sebagai sebuah pinjaman. Para debitur juga memerlukan rasa yakin dan percayanya pada bank yang memberi pinjaman apakah kelak pinjaman itu tidak akan menimbulkan masalah antara dia dan banknya. Jika debitur sudah yakin dan percaya penuh pada bank, maka jadilah sebuah akad kredit diteken kedua belah pihak.
Dalam praktik perbankan, tak jarang hubungan yang semestinya merupakan hubungan saling menguntungkan antara bank dengan nasabahnya tiba-tiba berubah menjadi hubungan yang meruncing. Beberapa diantaranya bahkan sampai menjadi perkara berlarut-larut di pengadilan.
Coba saja lihat di banyak rubrik surat pembaca pada koran-koran, ada saja tiap hari keluhan dan sumpah serapah yang dilontarkan kepada bank oleh nasabah yang mengaku dirugikan. Mulai dari urusan ATM yang ngadat lalu menelan kartu, sampai pemotongan-pemotongan yang tidak adil dilakukan bank kepada uang nasabah. Keluhan dan sumpah serapah itu sebagian ditanggapi segera, sebagian lagi berlalu begitu saja. Untuk kasus yang terakhir itu, biasanya nasabah langsung pindah ke bank lain.
Pertengkaran-pertengkaran antara nasabah dan bank bukan lagi perkara baru. Seperti juga perkara konsumen dengan produsen layaknya, yang membuat ini tak segera berakhir adalah ketidaksetaraan kedua pihak dalam posisi tawar. Konsumen senantiasa berada pada posisi tawar yang lemah, nasabah selalu tak diuntungkan posisi tawarnya dibanding dengan bank.
Beberapa perkara nasabah dengan bank ada yang berlanjut ke pengadilan. Di Padang Sumatra Barat misalnya perkara nasabah dengan Bank Danamon berlanjut ke pengadilan. Meskipun di pengadilan kemudian perkara itu menjadi perkara antara negara dengan pribadi bankir, tetapi tak urung hal-hal seperti ini akan menyeret-nyeret juga reputasi bank. Untunglah kemudian Mahkamah Agung RI memenangkan pihak bankir. Namun demikian sebagai sebuah perkara, ini tak mudah dijalani oleh seorang bankir. Fiveri Yenti, mantan Kacab Bank Danamon Padang itu harus bolak-balik ke pengadilan menghadiri persidangan yang menyita waktu dan energi. Bahkan lantaran ia dituduh menyimpangkan dana nasabah tanpa izin nasabah, membuatnya sempat ditahan di penjara untuk kemudian dibebaskan kembali atas putusan Mahkamah Agung dari perkara Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya.
Selesaikah persoalannya?
Nyatanya tidak. Ada yang terganggu di sana, yakni trust. Kepercayaan pada bank mau tidak mau tentu terganggu. Setidak-tidaknya akibat pemberitaan pers dari sidang-sidang perkara itu telah memberikan stigma baru pada bank: “hati-hati menaruh uang di bank anu!” Stigma seperti itu adalah sesuatu yang tidak pula gampang memperbaikinya. Perlu waktu lagi, perlu kampanye lagi, perlu sosialisasi lagi.
Itu dari sisi bank, sementara dari sisi nasabah juga tak kalah kerugian yang dideritanya. Terganggunya transaksi, terlambatnya deal, batalnya rencana peraihan keuntungan dan seterusnya.
Pertengkaran antara nasabah dengan bank memang lebih banyak didominasi oleh soal-soal layanan, soal salah administrasi dan soal tetek bengek. Tetapi itu rupanya senantiasa jadi kerikil dalam sepatu tanpa ada selama ini yang memediasi atau menjembatani.
Sedangkan perkara besar-besar yang menyangkut utang piutang, kredit milyaran rupiah juga berpotensi besar untuk menjadi perkara besar yang pada akhirnya meruntuhkan kredibilitas bank dan bankirnya.
Kita ambil contoh kembali pada kasus di Sumatra Barat. Dalam kasus kredit alat mesin pertanian PT Alsintan Makmur Jaya (AMJ). Adalah Kreatikto Boentoro pemilik sekaligus Direktur PT AMJ yang disetujui Bank Nagari untuk mendapatkan kredit bagi proyek pertaniannya di Pesisir Selatan. Tapi belakangan dia dituduh sendiri oleh Bank Nagari lewat laporan ke Kejaksaan Tinggi Sumbar, bahwa Boentoro telah memiliki niat membobol bank, menikmati kredit secara tidak sah, melakukan kredit fiktif dan tuduhan buruk lainnya.
Dalam belat-belit perkara itu akhirnya 247 unit alat mesin pertanian milik Boentoro yang jadi jaminan kredit disita, termasuk pula 19 unit yang tidak jadi agunan. Boentoro bahkan ditahan pula. Semua rekening pribadinya diblokir oleh Bank Indonesia.
Jaminan disita, Boentoro ditahan, kredit jalan terus,. Jelas ini tidak keterlaluan sekali. Perlawanan dilakukan Boentoro. Tak ada lagi pihak yang memediasinya selain ia menerima kenyataan bahwa dirinya tiba-tiba jadi terdakwa di pengadilan. Dirinya tak memiliki senjata apa-apa kecuali semangat perlawanan untuk mendapatkan psosi tawar yang sama anatar dirinya sebagai nasabah dengan banknya.
Seperti sudah jadi pemberitaan panjang, sidang demi sidang dilewati. Dari Pengadilan tingkat pertama hingga ke Mahkamah Agung, hakim memenangkan Boentoro. Dan perkara itu beranak pinak pula. Hasil perkara yang dimulai oleh bank dengan laporan ke kejaksaan itu berbuah pahit bagi bank. Bank Nagari dihukum membayar denda dan mengembalikan status debitur pada posisinya semula. 247 traktor yang tadinya disita, kini sudah rusak karena dikandangkan lebih setahun. Begitu Boentoro dinyatakan menang di pengadilan negeri, dia mengajukan gugatan baru lagi terhadap Bank Nagari. Hasil gugatan ini Bank Nagari dihukum lagi membayar ganti rugi miliaran rupiah untuk memperbaiki traktor tersebut.
Apa yang diperoleh dari sengketa nasabah dan bank seperti ini? Tak ada apa-apa kecuali kontraproduktif belaka. Reputasi bank terganggu, kredibilitas bankir yang terseret dalam masalah ini langsung atau tidak langsung pastilah ikut sumbing.
Dalam hubungan perikatan penjual dan pembeli misalnya sudah diantarai oleh lembaga-lembaga konsumen (di Indonesia dikenal YLKI dan sebagainya) yang berfungsi memediatori pesengketaan kedua pihak. Pada industri pers, hubungan penerbit dengan masyarakat bisa saja terjadi gesekan-gesekan dan satu sama lain mengklaim dirugikan. Ada dewan pers yang memediatori secara intermediasi. Sedangkan dalam internal masing-masing penerbit juga dikenal apa yang disebut lembaga ombudsman. Lembaga ini menjalankan fungsi mediasi antara pembaca/pemirsa/pendengar dengan media cetak/elektronik. Di situ ombudsman dibentuk oleh media tetapi independen terhadap medianya. Sedangkan Dewan Pers lebih berfungsi seperti YLKI dengan produsen-konsumen.
Tetapi bank? Belakangan baru Bank Indonesia mengedepankan apa yang disebut dengan Mediasi Perbankan. Berbagai wacana sejak dua tahun terakhir ini tentang mediasi perbankan yang akan jadi jembatan persengketaan nasabah dengan bank. Ada yang berkesimpulan itu diambil alih peranannya oleh Bank Indonesia. Tetapi ada juga yang berpendapat sebaiknya dibentuk Lembaga Mediasi Independen. Di beberapa negara memang dibuat seperti itu.
Apa pun namanya, tetapi harapan pada sebuah lembaga mediasi seperti itu sangatlah besar. Selain ini akan memberikan pengaruh pada terciptanya perbankan nasional yang sehat bersandar pada filosofi arsitektur perbankan Indonesia. Bukankah  salah satu dari enam pilar arsitektur perbankan Indonesia itu adalah ‘perlindungan nasabah yang kuat’? Lima pilar lainnya adalah sehat struktur, efektifnya sistem regulasi, independennya sistem supervisi, kuatnya industri serta memadainya infrastruktur perbankan.
Penguatan nasabah disini bukan untuk menciptakan nasabah yang boleh berlantas angan pada perbankan. Tetapi penguatan nasabah dimaksudkan untuk secara keseluruhan membuat bank makin dipercaya.
Persengketaan antara nasabah dengan bank, semestinya di masa depan bisa selesai di tingkat mediasi saja. Perkara Boentoro di Bank Nagari itu seyogianya bisa diredam jika semangat untuk membawanya ke satu lembaga mediasi sebagaimana banyak disarankan.
Entah karena masalah ini pula, akhirnya Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Dalam konsiderannya saja PBI itu sudah mencantumkan alasan: “Bahwa penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank tidak selalu dapat memuaskan nasabah dan berpotensi menimbulkan sengketa di bidang perbankan antara nasabah dengan bank”
Disamping alasan itu, BI melihat bahwa penyelesaian sengketa di bidang perbankan yang berlarut-larut dapat merugikan nasabah dan meningkatkan
risiko reputasi bagi bank, sedangkan penyelesaian sengketa itu bisa dilakukan secara sederhana dan murah.
Sekalipun kasus menyangkut miliaran rupiah yang dialami Boentoro dan Bank Nagari Sumatra Barat tidak masuk dalam cakupan yang diatur oleh PBI No 8 tersebut (PBI No 8 hanya mencakup nilai tuntutan nasabah sebesar maksimal Rp500 juta-red) tetapi yang jelas semangat dari prinsip mediasi perbankan ini tentu saja untuk meminimalkan kerugian yang lebih besar diderita nasabah dan bank.
Sedangkan untuk persengketaan yang mencakup nilai di atas Rp500 juta seperti apa yang dialami Boentoro dan Bank Nagari, sesungguhnya tak tertutup kemungkinannya diselesaikan secara preventif pada tingkat mediasi juga.
Maka sebagaimana amanat PBI No 8 itu, selambat-lambatnya 31 Desember 2007 Lembaga Mediasi Perbankan Independen (LMPI) mesti terbentuk.
LMPI, dengan demikian kelak ia akan menjalankan fungsi-fungsi penyejuk. Dalam mesin ia akan menjadi oli yang memediatori antara silinder dengan piston. Atau jika kita ibaratkan perkara yang timbul di kemudian hari sebagai kebakaran, maka LMPI mencegah kebakaran secara dini. Perkara-perkara antara nasabah dengan bank yang akhirnya sampai ke pengadilan pasti akan menimbulkan risiko besar pada kedua belah pihak. Menjadi pemadam kebakaran setelah api berkobar besar, bukan perkara mudah.
Kita berharap setelah itu terbentuk, jangan lantas tinggal namanya saja alias tidak berfungsi apa-apa. LMPI hendaklah makin meneguhkan bahwa nasabah adalah raja yang posisi tawarnya sama dengan bank. Sebaliknya dengan LMPI juga diteguhkan bahwa bank adalah sebuah lembaga kepercayaan. Lunturnya kepercayaan pada bank, alamat negeri ini akan semakin bangkrut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar