Mediasi Perbankan, Penyelesai Sengketa Tahap Dini
Oleh : M.AWALUDIN
M.AWALUDIN |
Apa modal paling besar lembaga perbankan? Uang? Aset?
Menurut Marzuki Usman, (Sinar Harapan/2005), modal utama bank adalah
kepercayaan (trust)
Karena itu bisa ia kehilangan kepercayaan, bank
bisanya langsung goyang dan sempoyongan. Nasabah tiba-tiba menggelontorkan
kembali uang yang sudah ditaruhnya di sebuah bank manakala dia dengar bank itu
terancam. Sebenarnya bukan bank yang terancam, tetapi dalam mindset
nasabah, merekalah yang terancam.
Ancaman-ancaman demi acaman sebenarnya dari waktu ke
waktu sudah melanda perbankan nasional kita. Sejak sejumlah bank ambruk di
pengujung orde baru hingga sejumlah isu yang membikin nasabah melakukan rush
massal telah menjadi pelajaran berharga bagi para bankir untuk menggelindingkan
roda banknya menuju tahun-tahun mendatang.
Bahwa kepercayaan adalah sesuatu yang tak bisa
ditawar-tawar pula. Kredibilitas memang pertaruhan para bankir untuk membawa
banknya sebagai bank yang sesungguhnya. Kepercayaan itu tidak saja lantaran
publik menaruh uangnya untuk dikelola oleh para bankir, tetapi juga karena
publik memanfaatkan uang bank sebagai sebuah pinjaman. Para debitur juga
memerlukan rasa yakin dan percayanya pada bank yang memberi pinjaman apakah
kelak pinjaman itu tidak akan menimbulkan masalah antara dia dan banknya. Jika
debitur sudah yakin dan percaya penuh pada bank, maka jadilah sebuah akad
kredit diteken kedua belah pihak.
Dalam praktik perbankan, tak jarang hubungan yang
semestinya merupakan hubungan saling menguntungkan antara bank dengan
nasabahnya tiba-tiba berubah menjadi hubungan yang meruncing. Beberapa
diantaranya bahkan sampai menjadi perkara berlarut-larut di pengadilan.
Coba saja lihat di banyak rubrik surat pembaca pada
koran-koran, ada saja tiap hari keluhan dan sumpah serapah yang dilontarkan
kepada bank oleh nasabah yang mengaku dirugikan. Mulai dari urusan ATM yang ngadat
lalu menelan kartu, sampai pemotongan-pemotongan yang tidak adil dilakukan bank
kepada uang nasabah. Keluhan dan sumpah serapah itu sebagian ditanggapi segera,
sebagian lagi berlalu begitu saja. Untuk kasus yang terakhir itu, biasanya
nasabah langsung pindah ke bank lain.
Pertengkaran-pertengkaran antara nasabah dan bank
bukan lagi perkara baru. Seperti juga perkara konsumen dengan produsen
layaknya, yang membuat ini tak segera berakhir adalah ketidaksetaraan kedua
pihak dalam posisi tawar. Konsumen senantiasa berada pada posisi tawar yang
lemah, nasabah selalu tak diuntungkan posisi tawarnya dibanding dengan bank.
Beberapa perkara nasabah dengan bank ada yang
berlanjut ke pengadilan. Di Padang Sumatra Barat misalnya perkara nasabah
dengan Bank Danamon berlanjut ke pengadilan. Meskipun di pengadilan kemudian
perkara itu menjadi perkara antara negara dengan pribadi bankir, tetapi tak
urung hal-hal seperti ini akan menyeret-nyeret juga reputasi bank. Untunglah
kemudian Mahkamah Agung RI memenangkan pihak bankir. Namun demikian sebagai
sebuah perkara, ini tak mudah dijalani oleh seorang bankir. Fiveri Yenti,
mantan Kacab Bank Danamon Padang itu harus bolak-balik ke pengadilan menghadiri
persidangan yang menyita waktu dan energi. Bahkan lantaran ia dituduh
menyimpangkan dana nasabah tanpa izin nasabah, membuatnya sempat ditahan di
penjara untuk kemudian dibebaskan kembali atas putusan Mahkamah Agung dari
perkara Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya.
Selesaikah persoalannya?
Nyatanya tidak. Ada yang terganggu di sana, yakni trust.
Kepercayaan pada bank mau tidak mau tentu terganggu. Setidak-tidaknya akibat
pemberitaan pers dari sidang-sidang perkara itu telah memberikan stigma baru
pada bank: “hati-hati menaruh uang di bank anu!” Stigma seperti itu adalah
sesuatu yang tidak pula gampang memperbaikinya. Perlu waktu lagi, perlu
kampanye lagi, perlu sosialisasi lagi.
Itu dari sisi bank, sementara dari sisi nasabah juga
tak kalah kerugian yang dideritanya. Terganggunya transaksi, terlambatnya deal,
batalnya rencana peraihan keuntungan dan seterusnya.
Pertengkaran antara nasabah dengan bank memang lebih
banyak didominasi oleh soal-soal layanan, soal salah administrasi dan soal
tetek bengek. Tetapi itu rupanya senantiasa jadi kerikil dalam sepatu tanpa ada
selama ini yang memediasi atau menjembatani.
Sedangkan perkara besar-besar yang menyangkut utang
piutang, kredit milyaran rupiah juga berpotensi besar untuk menjadi perkara
besar yang pada akhirnya meruntuhkan kredibilitas bank dan bankirnya.
Kita ambil contoh kembali pada kasus di Sumatra Barat.
Dalam kasus kredit alat mesin pertanian PT Alsintan Makmur Jaya (AMJ). Adalah
Kreatikto Boentoro pemilik sekaligus Direktur PT AMJ yang disetujui Bank Nagari
untuk mendapatkan kredit bagi proyek pertaniannya di Pesisir Selatan. Tapi
belakangan dia dituduh sendiri oleh Bank Nagari lewat laporan ke Kejaksaan
Tinggi Sumbar, bahwa Boentoro telah memiliki niat membobol bank, menikmati
kredit secara tidak sah, melakukan kredit fiktif dan tuduhan buruk lainnya.
Dalam belat-belit perkara itu akhirnya 247 unit alat
mesin pertanian milik Boentoro yang jadi jaminan kredit disita, termasuk pula
19 unit yang tidak jadi agunan. Boentoro bahkan ditahan pula. Semua rekening
pribadinya diblokir oleh Bank Indonesia.
Jaminan disita, Boentoro ditahan, kredit jalan terus,.
Jelas ini tidak keterlaluan sekali. Perlawanan dilakukan Boentoro. Tak ada lagi
pihak yang memediasinya selain ia menerima kenyataan bahwa dirinya tiba-tiba
jadi terdakwa di pengadilan. Dirinya tak memiliki senjata apa-apa kecuali
semangat perlawanan untuk mendapatkan psosi tawar yang sama anatar dirinya sebagai
nasabah dengan banknya.
Seperti sudah jadi pemberitaan panjang, sidang demi
sidang dilewati. Dari Pengadilan tingkat pertama hingga ke Mahkamah Agung,
hakim memenangkan Boentoro. Dan perkara itu beranak pinak pula. Hasil perkara
yang dimulai oleh bank dengan laporan ke kejaksaan itu berbuah pahit bagi bank.
Bank Nagari dihukum membayar denda dan mengembalikan status debitur pada
posisinya semula. 247 traktor yang tadinya disita, kini sudah rusak karena
dikandangkan lebih setahun. Begitu Boentoro dinyatakan menang di pengadilan
negeri, dia mengajukan gugatan baru lagi terhadap Bank Nagari. Hasil gugatan
ini Bank Nagari dihukum lagi membayar ganti rugi miliaran rupiah untuk
memperbaiki traktor tersebut.
Apa yang diperoleh dari sengketa nasabah dan bank seperti
ini? Tak ada apa-apa kecuali kontraproduktif belaka. Reputasi bank terganggu,
kredibilitas bankir yang terseret dalam masalah ini langsung atau tidak
langsung pastilah ikut sumbing.
Dalam hubungan perikatan penjual dan pembeli misalnya
sudah diantarai oleh lembaga-lembaga konsumen (di Indonesia dikenal YLKI dan
sebagainya) yang berfungsi memediatori pesengketaan kedua pihak. Pada industri
pers, hubungan penerbit dengan masyarakat bisa saja terjadi gesekan-gesekan dan
satu sama lain mengklaim dirugikan. Ada dewan pers yang memediatori secara
intermediasi. Sedangkan dalam internal masing-masing penerbit juga dikenal apa
yang disebut lembaga ombudsman. Lembaga ini menjalankan fungsi mediasi antara
pembaca/pemirsa/pendengar dengan media cetak/elektronik. Di situ ombudsman
dibentuk oleh media tetapi independen terhadap medianya. Sedangkan Dewan Pers
lebih berfungsi seperti YLKI dengan produsen-konsumen.
Tetapi bank? Belakangan baru Bank Indonesia
mengedepankan apa yang disebut dengan Mediasi Perbankan. Berbagai wacana sejak
dua tahun terakhir ini tentang mediasi perbankan yang akan jadi jembatan
persengketaan nasabah dengan bank. Ada yang berkesimpulan itu diambil alih
peranannya oleh Bank Indonesia. Tetapi ada juga yang berpendapat sebaiknya
dibentuk Lembaga Mediasi Independen. Di beberapa negara memang dibuat seperti
itu.
Apa pun namanya, tetapi harapan pada sebuah lembaga
mediasi seperti itu sangatlah besar. Selain ini akan memberikan pengaruh pada
terciptanya perbankan nasional yang sehat bersandar pada filosofi arsitektur
perbankan Indonesia. Bukankah salah satu dari enam pilar arsitektur
perbankan Indonesia itu adalah ‘perlindungan nasabah yang kuat’? Lima pilar
lainnya adalah sehat struktur, efektifnya sistem regulasi, independennya sistem
supervisi, kuatnya industri serta memadainya infrastruktur perbankan.
Penguatan nasabah disini bukan untuk menciptakan
nasabah yang boleh berlantas angan pada perbankan. Tetapi penguatan nasabah
dimaksudkan untuk secara keseluruhan membuat bank makin dipercaya.
Persengketaan antara nasabah dengan bank, semestinya
di masa depan bisa selesai di tingkat mediasi saja. Perkara Boentoro di Bank
Nagari itu seyogianya bisa diredam jika semangat untuk membawanya ke satu
lembaga mediasi sebagaimana banyak disarankan.
Entah karena masalah ini pula, akhirnya Bank Indonesia
menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan. Dalam konsiderannya saja PBI itu sudah mencantumkan alasan: “Bahwa
penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank tidak selalu dapat memuaskan nasabah
dan berpotensi menimbulkan sengketa di bidang perbankan antara nasabah dengan
bank”
Disamping alasan itu, BI melihat bahwa penyelesaian
sengketa di bidang perbankan yang berlarut-larut dapat merugikan nasabah dan
meningkatkan
risiko reputasi bagi bank, sedangkan penyelesaian
sengketa itu bisa dilakukan secara sederhana dan murah.
Sekalipun kasus menyangkut miliaran rupiah yang
dialami Boentoro dan Bank Nagari Sumatra Barat tidak masuk dalam cakupan yang
diatur oleh PBI No 8 tersebut (PBI No 8 hanya mencakup nilai tuntutan nasabah
sebesar maksimal Rp500 juta-red) tetapi yang jelas semangat dari prinsip
mediasi perbankan ini tentu saja untuk meminimalkan kerugian yang lebih besar
diderita nasabah dan bank.
Sedangkan untuk persengketaan yang mencakup nilai di
atas Rp500 juta seperti apa yang dialami Boentoro dan Bank Nagari, sesungguhnya
tak tertutup kemungkinannya diselesaikan secara preventif pada tingkat mediasi
juga.
Maka sebagaimana amanat PBI No 8 itu,
selambat-lambatnya 31 Desember 2007 Lembaga Mediasi Perbankan Independen (LMPI)
mesti terbentuk.
LMPI, dengan demikian kelak ia akan menjalankan
fungsi-fungsi penyejuk. Dalam mesin ia akan menjadi oli yang memediatori antara
silinder dengan piston. Atau jika kita ibaratkan perkara yang timbul di
kemudian hari sebagai kebakaran, maka LMPI mencegah kebakaran secara dini.
Perkara-perkara antara nasabah dengan bank yang akhirnya sampai ke pengadilan
pasti akan menimbulkan risiko besar pada kedua belah pihak. Menjadi pemadam
kebakaran setelah api berkobar besar, bukan perkara mudah.
Kita berharap setelah itu terbentuk, jangan lantas
tinggal namanya saja alias tidak berfungsi apa-apa. LMPI hendaklah makin
meneguhkan bahwa nasabah adalah raja yang posisi tawarnya sama dengan bank.
Sebaliknya dengan LMPI juga diteguhkan bahwa bank adalah sebuah lembaga
kepercayaan. Lunturnya kepercayaan pada bank, alamat negeri ini akan semakin
bangkrut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar