Sabtu, 21 Januari 2012
film pendek paling top
Sebuah kisah derama religi , ada seorang anak muda yang dalam kehidupannya penuh dengan kesuraman. Pangil saja namanya ridwan namun nama yang sering di panggil sama genknya adalah bang oyong. Oyong mempunyai sifat yang sangat keras, sejak kematian ayah tercintanya sifat dan prilakunya berubah drasis penuh dengan perbuatan keji. Semua yang menasehatinya pasti dilawan. Dari memalak setiap orang yang lewat bermain judi, mabuk mabukan dan masih hal lain yang buruk padanya. Namun pada suatu hari ia bertemu dengan seorang gadis yang amat cantik dan ia pun terpesona melihatnya. Gadis tersebut baru pindahan dari kota namun gadis ini sangat religus dan amat baik pada semua warga.sebut saja nama gadis tersebut adalah halimah nama pangilanya adalah imah.
Sin 1.dirumah oyong jam 06.00 pagi
Ibu oyong: oyong…oyong bagun nak ini sudah pagi ayok solat dulu nak…! (sambil gentor pintu)
Oyong dengan suara yang sangat nmengatuk kembali melanjutkan tidurnya
Oyong: ah… bawel tak tau apa orang mengantuk.
Ibu oyong: aduh anak ini sulit sekali di bangunin (berhenti sebentar sambil cari ide) ah… kalo tidak bagun ibu akan siram (suara hati)
Lalu ibu menuju dapur mencari air pake baskom. Dan ibunya pun menuju kamar oyong .setelah sampai di kamar oyong ibunya lalu menyiramkan air tersebut kemuka oyong. Oyong pun terkejut sambil bentak ibunya.
Oyong: waduh ibu tidak tahu orang mengantuk ya . aku nagatuk bu…(sambil mengusap mukanya )
Ibunya : nah gimana? neh jam berapa apa kamu tidak solat tidur aja kerjaan mu.
Oyong: wah bener-bener ibu ini bawel ya . solat sana sendiri . kalo ibu solat ibu yang dapat bukan aku buuuuuu….(dengan nada keras)
Ibunya: astagfirullah oyong istigfar nak .
Oyong: istigfar saja sendiri
Lalu oyong bergegas ke kamar mandi sambil membawa handuk kecil
Ibunya: astagfirullah al azim ya allah lindungi anak ku dan berikanlah hidayahmu kepadanya (sambil menagis )
Sehabis mandi oyong begegas memakai pakaian yang sering digunakanya kaos oblong celana pasha kalung besar anting dan sapu tangan kecil yang ditaruh di kantung celana di belakang. Dan ia pun segera keluar rumah menuju pangkalan yang menjadi tempat nongkrong bersama teman-temmannya.stibanya di tongkrongannya
Sin 2 tongkrongan oyong
Oyong: heyyy brow
Heru,andre.beny.dan ijho; hyyy juga oyong
Ijho:wah kenapa dengan muke lho kok kayak kadal kepanasan
Heru,andre beny: bener oyong kenapa apa ibu lho siram kamu lagi..
Oyong : bener brow
Heru andre beny dan ijho ketawa dengan terbahak-bahak
Beny: aku tahu ne pasti kamu telat bangun terus di siram pake air kan waduh kasian sekali kamu brow.
Oyong: dasar kamu ben Cuma biasa ngejek aku ajha. Terus gimana apa kalian laper..
Andre: bener bos kita belum sarapan neh.
Oyong: tenang aja ikut sama aku entar gue yang teraktie
Beny: dapat uang dari mana lho…
Oyong: biasa lah uang ibu tadi gue ambil di dalam lemari
Andre: dasar lho oyong emang lho nekat banget.
Oyong: itulah gue, jangan banyak bacotlah lho-lho pade pengen makan kan ayok ikut gue ke warung ibu salmah
Andre, beny,dan heru: oke bosssss.
Sin 3 di warung ibu salamah pukul 10.00 pagi
Ibu salmah melihat oyong dari kejahuan dan mereka menuju kewarungnya wajah ibu salamah pun berubah masem namun agak ketakutan sambil mengatakan dalam hatinya “wah raja penghutang datang lagi neh,ya allah mimpi apa aku tadi malam” secara oyong bersama teman-temannya selalu mengutang terus tanpa bayar.oyong pun datang bersama teman-temannya dan duduk
Oyong: bu salmah nasi campurnya 4 oke tidak pake lama( dengan suara keras sambil memukul meja)
Ibu salmah:nasi 4 utang lho ja kemarin belum di bayar .sebelum kamu makan sama cecunguk-cecunguk lho lebih baik lho bayar dulu utang lho kemarin.
Oyong:wah cari masalah neh sama kita ne. tenang aja bu pasti gue bayar neh uang gue(oyong mengeluarkan uang dari kantungnya)
Akhirnya ibu salmah menyediakan makan untuk mereka.
Tiba –tiba ada seorang gadis datang kewarung bu salmah untuk membeli nasi. Oyong pun bengong tanpa mata terkejap melihat gadis itu.
Halimah: assalamualaikum bu ?
Ibu salamah: walaikum salam hey nak imah mau beli apa ?
Halimah: oh mau beli nasi 3 bungkus bu?
Ibu salmah: wah banyak sekali mau beliin siapa?
Haliamah: beliin ibu sama bapak?
Ibu salmah: ya dah tunggu bentar ya saya bikinin dulu. Duduk ja dulu disana
Oyong sama teman-temannya tak bosan-bosan meliahat gadis tersebut.haliamah pun meliat oyong sama teman-temannya ia senyum sambil mengagukkan kepalanya tak lama kemudian pesanan halimah pun sudah jadi
Ibu salmah: iamh ne nasinya dah jadi
Halimah: oya bun eh uangnya terima kasih ya bu assalamualaikum.
Ibu salmah: walaikum salam masya allah alangkah baik hatinya gadis ne. lain sama si cecungguk-cecungguk ini hanya bias nyusain saja.
Oyong: hmmmmm ujung-ujungnya kekita juga.
film pendek "arti sebuah persahabatan"
##MEDIASI KONPLIK##
**ARTI SEBUAH PERSAHABATAN**
Di ceritakan
ada sekolompok anak mahasiswa yang dalam kesehariannya penuh dengan canda dan
tawa. Mereka selalu berdiskusi tentang pelajaran , namun di suatu hari ada
seoarang temannya yang mulai tidak suka pada temannaya . katakana saja ardy ,
saat dia di ajak belajar kelompok dirumah
rohana dia bicarakan prilaku dan kejelekan haris.
Sin 1 di kampus
Saat sudah
selesai belajar mereka berdiskusi sebentar.
Astry
:kawan-kawan gimana kalau kita belajar kelompok, soalnya saya belum paham dengan
pelajaran yang tadi.
Rohana : wah
bagus tuh astry.gimana kawan-kawan setuju (dengan suara keras)
Kawan-kawan :
oke setuju
Indra : nah
kalau begitu kita belajar saja dirumah rohana, sambil rujakan gituh.
Hamdan ; ide
bagus itu indra.
Rohana : wah
haris kemana ini kok tidak masuk . (sambil melihat teman-temannya)
Ardy : ah
mungkin anaknya saja malas.
Astry : weeet
tidak usah gomong gitu siapa tahu dia sibuk mungkin.
Rohana : tidak
usah di debatkan. Lebih baik sekarang kita ngeluarin duat kita beli bumbu rujak
ok.
Mereka pun
mengeluarkan uang sama-sama 1000 rupiah untuk beli bumbu rujak. Saat itu juga
semuanya berangkat menuju rumah rohana.
Sin 2 di rumah
rohana
Saat di rumah
rohana mereka canda tawa sambil menikmati panasnya rujak mangga. Dan ketika itu
ardy duduk di dekat selamet dan bicara tentang perilaku haris.
Ardy : met ,,,,
aku tidak habis pikir dengan sikap haris hari-hari ini, sok banget
Selamet : emang
soknya kayak gimana?
Ardy ; soknya
itu yaa, sok dirinya paling pinter, paling gagah wah apalgi urusan cewek paling
plyboy.
Selamet: oooooo
soknya itu yaaa……..
Ardy : yang
lebih jeleknya lagi dia itu suka porotin cewek, gonta ganti cewek apalagi ya
aku denger dia sudah hamilin anak orang.
Selamet :
astagfirullah ardy tidak boleh ngomong kayak gitu kalau tidak benar nanti bias
jadi fitnah lo..
Ardy : ini
bukan fitnah met. tapi kenyataan, aku denger sendiri kok pacarnya ngomong kayak
gitu kemarin di kampus.
Selamet: ooooh
kayak gituh nauzubillah minzalik. Munafik sekali jadinya haris kepada kita
semua.
Ardy : betul
itu.
Tak lama
kemudian hamdan berkata pada teman-temannya.
Hamdan :
teman-teman, kayak ne sudah 12.00 ne aku mau balik dulu.
Sulman ; aku
juga aku belum masak ne di kos.
Dan di ikuti
sama teman-temanya .mereka akhirnya pulang
Sin 3 di kampus
Pukul 07.00
pagi selamet bertemu dengan haris di kampus
Selamet:
assalamualaikum haris (datang menghampiri selamet)
Haris :
walaikum salam met.
Selamet : wah
muka mu seger baget haris, kemana kemarin kenapa tidak masuk kuliah.
Haris : ya met
aku tidak masuk kemarin aku nganterin ibu ke rumah sakit, penyakitnya kambuh
lagi.
Selamet ;
inalillahi wa inalilahiroziun. Yang tabah ya haris, moga saja ibumu cepat
sembah .
Haris : amin
Selamet :wah
kemarin kita belajar seru banget ris, di rumah rohana kita rujakan di sana wah
mantap.
Haris : waduh
mantap.
Selamet: haris
maaf kata ady kemarin , katanya kamu
sudah hamilin anak orang apa betul itu haris?
Haris ;
assatgfirullah nauzubilahimin zalik apa itu benar (dengan muka sangat marah)
coba cerikan apalagi dia katakan padamu tentang aku.
Selamet
menceritakan semuanya pada haris apa
yang di katakana ardy padanya.saat itu haris sangat marah dan tidak terbendung
lagi emosinya. Ketika itu ardy dantang dan haris pun menghampiri ardy dan langsung
memukul ardy . selamet dan teman-temannya melerai haris dan ardy.
Haris : mau
kamu apa fitnah aku seperti itu, salah aku apa sama kamu
Ardy ; fitnah
apa?
Saat itu datang
pak wahid untuk dan menghampiri beliau.
Pak wahid: wah
kenapa ini rebut-ribut.
Astry: ini pak
haris dan ardy tiba-tiba saja bertengkar.
Pak wahid :
ardy haris ada apa ini kenapa bisa bertengkar?
Ardy: ini pak
haris datang-datang langsung mukul saya.
Haris : jangan
pura- pura tidak tahu dasar munafik kamu ardy.
Pak wahid ;
sudah-sudah begini saja haris dan ardy
ikut saya.
Sin 4 dalam
kelas
Kemudian haris
dan ardy di bawa oleh pak wahid menuju kekelas kosong. Mereka di mediasi oleh
pak wahid dengan memberikan pertanyaan –pertanyaan kepada ardy dan haris .
Pak wahid: saya
kecewa kepada anda-anda ini . anda kesini untuk bert
Engkar atau
belajar. Anda ini mahasiswa bukan anak kecil lagi.
Ardy: dia yang
duluan pak yang memukul saya (dengan suara menahan suara sakit akibat di pukul
oleh haris)
Haris: kamu
yang duluan (dengan suara marah)
Pak wahid:
sudah-sudah, jangan saling salah kan. Bapak cuman ingin tahu apa akar
permasalahannya dulu. Mulai dari haris, kenapa kamu memukul ardy?
Haris : begini
pak , selamet menceritakan saya tadi dia bilang bahwa ardy mengatakan saya
hamilin anak orang. Kan itu fitnah pak
Pak wahid: apa
benar itu ardy?
Ardy: benar
pak, kemarin di taman kampus saya dengar pacarnya bilang “saya telat satu
bulan” itu yang di bilang sama pacarnya kemarin.
Pak wahid:haris
apa benar itu semua?
Haris : itu
semua 100% salah dan fitnah, sebenarnya di taman kemarin itu, itu bukan pacar
saya tapi adik saya dia datang untuk meminta uang untuk bayar spp katanya dia
sudah telat satu bulan,kalau tidak di bayar maka dia di keluarkan dari
sekolahnya.begitu cerita sebenarnya.
Pak wahid:oh
begitu , (denagn suara serius sambil memandang haris) nah bagiaman ini ardy?
Pak wahid :ya
pak (sambil tertunduk malu) maaf ya ardy, sebenarnya juga saya cemburu sama
kamu?
Haris: cemburu
sama aku ?
Ardy : aku
cemburu sama kamu lantaran kamu ambil rodiah dari aku.
Haris :ardy aku
sama rodiah bukan pacaran, aku dan dia cuman sahaban doing tidak lebih kok.
Ardy :wah ya
benar ardy?
Haris ; benar?
Pak wahid :haris
ardy saling pukul tawuran bahkan saling
bunuh semua itu tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan merugikan kita
apalagi di sebabkan hanya masalah sepele, tidak seharusnya di selesaikan dengan
cara seperti itu, anda ini adalah calon pemimpin, bagaiman anda memimpin kalau
seperti itu malah rakyat akan tidak suka lagi sama anda.lagi sekali saya
tegaskan maslah bukan di selesaikan dengan cara keras namun diselesaikan dengan
mediasi, setuju semuanya
Ardy dan haris
menjawab setuju pak…………!!!!!!!!!!!!
Pak wahid:nah
kalian sekarang baikkan saling memaafkan tidak ada lagi cemburu-cemburuan.
Oke…………..!!!!! ayo slaman
Ardy : haris
aku minta maaf ya tas sikap ku.
Haris : ya aku
juga minta maaf atas sikap ku yang arogan.
Semua temannya
tepuk tangan
-Tamat-
Minggu, 15 Januari 2012
Jumat, 13 Januari 2012
Tali silaturrahmi
Nama : sulman
Nim :153091008
Kelas : KPI A
Tali silaturrahmi
Menurut Rasulullah, Allah
SWT akan melapangkan rezeki orang yang suka menyambung tali silaturahmi. Allah
juga akan memanjangkan umur kepadanya.
Muhammad
Baqir ra pernah mendapat wasiat dari ayahnya (Imam Zainul Abidin, ra). Ia (kata
Baqir) telah berwasiat kepadaku, “Janganlah duduk bersama lima jenis manusia.
Jangan berbicara kepada mereka, bahkan jangan berjalan bersama mereka, meskipun
tidak disengaja.
1. Orang
Fasik. Karena ia akan menjualmu hanya untuk sesuap makanan.
2. Orang
Bakhil. Karena ia akan memutuskan hubungan di saat kita kita memerlukan.
3. Pembohong.
Karena ia akan menipumu. Karena ia akan senantiasa menipumu.
4. Orang
Bodoh. Karena ia berkeinginan memberikan manfaat bagimu, namun karena
kebodohannya, ia jutru merugikanmu.
5. Orang
yang memutuskan tali silaturahmi. Karenanya, janganlah berdekatan dengannya.
Memutus tali silaturahmi adalah sesuatu
yang dilarang oleh agama Islam. Dalam Q.S an-Nisa’: 1, Allah berfirman, “Dan
bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-namaNya, kamu saling
meminta, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.”
Dalam kitab Ahkam al-Qur’an-nya,
Ibnu al-Arabi menafsirkan ayat ini dengan: “Takutlah kepada Allah untuk berdosa
kepada-Nya dan takutlah untuk memutus tali silaturahmi”.
Dari Abdullah bin Abi Aufa r.a. berkata,
ketika sore hari pada hari Arafah, pada waktu kami duduk mengelilingi
Rasulullah saw, tiba-tiba beliau bersabda,
“Jika
di majelis ini ada orang yang memutuskan silaturahmi, silahkan berdiri, jangan
duduk bersama kami.” Dan ketika itu, diantara yang hadir hanya ada satu
yang berdiri, dan itupun duduk di kejauhan. Dan dalam waktu yang tidak lama, ia
kemudian duduk kembali.
Rasulullah bertanya kepadanya,”Karena
diantara yang hadir hanya kamu yang berdiri, dan kemudian kamu datang dan duduk
kembali, apa sesungguhnya yang terjadi? Ia kemudian berkata, “Begitu
mendengar sabda Engkau, saya segera menemui bibi saya yang telah memutuskan
silaturahmi dengan saya. Karena kedatangan saya tersebut, ia berkata, “Untuk
apa kamu dating, tidak seperti biasanya kamu dating kemari.” Lalu saya
menyampaikan apa yang telah Engkau sabdakan. Kemudian ia memintakan ampunan
untuk saya, dan saya meminta ampunan untuknya (setelah kami berdamai, lalu
saya datang lagi ke sini).
Lalu Rasulullah bersabda,
“Kamu telah
melakukan perbuatan yang baik, duduklah, rahmat Allah tidak akan turun ke atas
suatu kaum jika di dalamnya ada orang yang memutuskan silaturahmi.”
Rasulullah pernah bersabda,
”Tidak ada satu kebaikanpun yang pahalanya lebih cepat
diperoleh daripada silaturahmi, dan tidak aka satu dosapun yang adzabnya lebih
cepat diperoleh di dunia, disamping akan diperoleh di akherat, melebihi
kezaliman dan memutuskan tali silaturahmi.”
Dalam sebuah riwayat lain, dari Anas r.a,
ia berkata bahwa Rasullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang suka dilapangkan
rezekinya dan dilamakan bekas telapak kakinya (dipanjangkan umurnya), hendaknya
ia menyambung tali silaturahmi.
Ali r.a meriwayatkan dalam sebuah hadist,
“Barangsiapa yang mengambil tanggungjawab atas suatu perkara, aku akan menjamin
baginya empat perkara. Barangsiapa bersilaturahmi, umurnya akan dipanjangkan,
kawan-kawannya akan cinta kepadanya, rezekinya akan dipalangkan, dan ia aman
masuk ke dalam surga. (Kanzul ‘Ummal).
Al-Qurthubi mengatakan,
“Seluruh agama sepakat bahwa menyambung silaturahmi wajib
dan memutuskannya diharamkan“. Ibnu Abidin al-Hanafi
mengatakan;”Menyambung silaturahmi wajib meskipun hanya dengan mengucapkan
salam, memberi hadiah, memberi pertolongan, duduk bareng, ngobrol, bersikap
ramah dan berbuat baik. Kalau seseorang yang hendak disilaturahmi berada di
lain tempat cukup dengan berkirim surat, namun lebih afdol kalau ia bisa
berkunjung ke tempat tinggalnya”.
Orang yang menyambung silaturahmi akan mendapat
balasan di dunia berupa: kedekatan kepada Allah, rezekinya diluaskan, umurnya
dipanjangkan, rumahnya dimakmurkan, tercegah dari mati dengan cara tidak baik,
dicintai Allah dan dicintai keluarganya.
Yang lebih penting dari itu semua, di
akhirat kelak, ia akan mendapat balasan surga dari Allah SWT: Rasulullah
ditanya oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah kabarkanlah kepadaku amal yang
dapat memasukkan akan ke surga”.
Rasulullah menjawab;
“Engkau
menyembah Allah, jangan menyekutukan-Nya dengan segala sesuatu, engkau dirikan
shalat, tunaikan zakat dan engkau menyambung silaturahmi“. (HR. Bukhari).
Dan yang
terakhir, Rasulullah pernah berkata pada sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq r.a
bahwa tiga perkara berikut ini benar adanya.
1. Barangsiapa
yang dizalimi kemudian ia memaafkan, maka kemuliannya akan bertambah.
2. Barangsiapa
yang meminta-minta untuk meningkatkan hartanya, maka, hartanya akan berkurang.
3. Barangsiapa
yang membuka pintu pemberian dan silaturahmi, maka hartanya kan bertambah.
Kamis, 12 Januari 2012
berdakwah Silaturahmi & "Halal bi Halal"
awaludin |
Suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di
Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan
saling memaafkan agar yang haram menjadi halal di sebut “halal bi halal”.
Umumnya kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan salat Idul Fitri.
Halal bi Halal (halal dengan halal, saling menghalalkan) walaupun namanya mempergunakan bahasa (lafadz) Arab dan telah melembaga di kalangan penduduk Indonesia pada zaman Nabi Saw., dan juga zaman-zaman sesudahnya tidak ditemukan. Hingga abad sekarang; baik di negara-negara Arab maupun di negara Islam lainnya (kecuali di Indonesia) tradisi ini tidak memasyarakat atau tidak ditemukan. Sedangkan di Indonesia, tradisi ini baru mulai diselenggarakan dalam bentuk upacara sekitar akhir tahun 1940-an dan mulai berkembang luas setelah tahun 1950-an. (Ensiklopedi Islam, 2000) Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan halal bi halal berasal dari bahasa (lafadz) Arab yang tidak berdasarkan tata bahasa Arab (ilmu nahwu), sebagai pengganti istilah silaturahmi. Berasal dari kalangan yang tidak mengerti bahasa Arab, tetapi tetap mencintai Islam.
Dewasa ini, halal bi halal diselenggarakan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat muslim Indonesia, baik oleh kelompok dari suatu daerah tertentu, keluarga besar, kelompok kerja, kelompok pedagang, organisasi sosial-politik lembaga perusahaan swasta maupun intansi pemerintah. Dengan demikian tergabung dalam beberapa kelompok yang berbeda mengikuti kegiatan halal bi halal. Asal-usul tradisi halal bi halal, dari daerah mana, siapa yang memulai dan kapan kegiatan tersebut mulai diselenggarakan sulit diketahui dengan pasti. Karena, tradisi “Sembah Sungkem” (datang menghadap untuk menyatakan hormat dan bakti kepada orang tua, orang yang lebih tua, atau orang yang lebih tinggi status sosialnya) sudah membudaya dan ada pada pada hampir semua suku dalam masyarakat Indonesia.
Telaah terhadap istilah halal bi halal.
Untuk menghindari kesalah-pahaman terhadap makna, serta penggunaan kalimat halal bi halal, yang dalam tradisi di Indonesia, merupakan pengganti dari Silaturahmi, tampaknya tidak salah jika dilakukan telaah terhadap istilah tersebut, baik dari sisi arti kata, uslub bahasa, sejarah perkembangan makna, serta ilmu bahasa.
Telaah Arti.
Pada umumnya kelompok masyarakat yang mengadakan halal bi halal, mengartikan istilah halal bi halal itu dengan “Saling bebas membebaskan” atau “Saling maaf-memaafkan kesalahan dan dosa”. Jadi kata halal di sini, diartikan “Bebas” atau “Maaf”.
Kata al-Halal menurut Luwes ma’luf (1927:142) artinya Dhiddul Haram (sebalik dari haram). Dan kata al-Haram berarti; tercegah, terlarang, tidak boleh, yang diambil dari kata Mana’a-Harama “Mencegah”. Dengan demikian kata halal berarti “boleh” atau “tidak tercegah” Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim (tt:13) yang mengartikan al-halal searti dengan al-mubah atau al-Jaizu artinya “Boleh” (Tidak terlarang). Dengan demikian, kalimat halal bi halal, artinya “Boleh dengan boleh”, bukan saling bebas membebaskan atau saling maaf memaafkan.
Telaah uslub bahasa.
Mungkin saja orang yang menggunakan istilah halal bi halal, ia meniru uslub qur’ani. Dalam Alqur’ân ada uslub yang sepintas hampir mirip seperti itu, misalnya dalam surat al-Maidah 45, "Wa katabnaa 'alaihim fiehaa annan nafsa bin nafsi wal 'aina bil aini wal anfa bil anfi…" “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung…" (QS. Al-Maidah [5]:45)
Jika diperhatikan bentuk uslub dalam Alqur’ân di atas, kemudian dibandingkan dengan uslub al-Halal bi al-Halal sepintas seperti sama, padahal tidak sama, jika dilihat dari sisi makna dan isinya. Uslub yang terdapat dalam Alqur’ân di atas, mengandung makna qisas (hukum balas) yang berisikan seseorang yang telah dirugikan, dimadlaratkan oleh orang lain, dibalas dengan kemadlaratan lagi. Artinya, hal itu berlangsung dalam daur yang negatif dibalas dengan yang negatif pula. Sementara dalam halal bi halal berlangsung dalam kegiatan yang positif, kegiatan yang mengandung nilai baik; saling bersalaman, bersilaturahmi, saling memohon maaf, pengkajian agama dan yang lainnya. Bukan saling balas membalas dengan sesuatu yang memadlaratkan dan menyakitkan. Karena itu, bukan uslub Qur`ani.
Telaah sejarah makna.
Kata halal dahulu pernah digunakan oleh orang Arab jahili (khususnya kampung al-Hams dan Ahlu al-Yaman) saat berthawaf untuk arti dan maksud menghalalkan seluruh tubuh, kecuali bercampur (bersetubuh). Hal ini seperti ungkapan Jalaludin al-Suyuthi (1992, III:439) yang mengutip riwayat Ibnu Abi Syaibah bersumber dari Ibnu Abbas menyebutkan “Bahwasanya perempuan-perempuan berthawaf sambil telanjang, kecuali mereka menutupi parjinya dengan sobekan kain dan berkata, "Alyauma yabduu ba'dhahu au kulluhu wa maa badaa minhu falaauhillahu." Hari ini terbuka sebagian atau seluruhnya, dan apa yang tidak tampak (yang ditutupi) maka tidak Aku halalkan.
Apa yang diungkapkan Jalaludin al-Syuyuthi di atas, dapat diperkuat oleh perkataan Al-Maraghi (1971, III:132) yang mengutip riwayat Sa’id bin Jubair yang isinya, antara lain menyebutkan, “Dulu orang-orang berthawaf di Al-Bait bertelanjang, lalu datang seorang perempuan membuka lalu melemparkan bajunya kemudian berthawaf, menutupi parjinya dengan tangannya, dan berkata seperti perkataan di atas.
Telaah Bahasa.
Kalimat halal bi halal tersusun dari tiga kata, yaitu, halal, bi (al-bâ`u) dan halal, yang kemudian dibentuk menjadi “Halal bi halal”. Lafadz-lafadz tersebut berasal dari Bahasa Arab, tetapi terhadap susunan halal bi halal orang Arabnya sendiri (Shahib al-Lughah) tidak paham dan tidak mengerti terhadap maknanya. Karena itu halal bi halal bukan Bahasa Arab yang benar. Bahasa seperti ini dalam ilmu bahasa Arab (nahwu) disebut Lughah al-Wushtha, artinya, “Bahasa tengah-tengah” bahasa yang tidak ke sana juga tidak ke sini, atau bahasanya orang yang sedang belajar bahasa Arab. Dalam Bahasa Inggris suka disebut bahasa interferensi, bahasa orang yang baru mengenali bahasa, atau bahasa yang tarik-menarik. Kalimat halal bi halal tidak jauh berbeda dengan kalimat “ada-ada saja kamu” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi kalimat Wujud-wujud faqath anta atau kalimat, terutama atau khususnya kepada, diterjemahkan menjadi Wa bil khusus kepada. Kalimat-kalimat seperti ini sekalipun menggunakan lafadz Arab tetapi bukan bahasa Arab yang benar, bukan uslub Arab yang sesuai dengan ilmu Bahasa Arab (nahwu).
Kesalahan berbahasa hampir ada pada setiap penutur dan pengguna bahasa, termasuk juga dalam penuturan bahasa Indonesia. Misalnya, ketika lampu listrik tidak menyala orang menyebutnya “ada aliran“ padahal kalau ada aliran (listrik) lampu listrik tentu menyala, seharusnya orang menyebut “tidak ada aliran” Sampai sekarang orang masih mengatakan “perempatan lima“ yang semestinya menyebut “Simpang lima”. Demikian juga terhadap kendaraan sepeda yang beroda tiga, yang dikendarai oleh orang, suka disebut “Beca“ Padahal “Beca” adalah kendaraan yang ditarik oleh kuda, Be (kuda) Ca (kendaraan).
Kesalahan-kesalahan berbahasa seperti itu, sudah membudaya di kalangan masyarakat kita, sehingga nampaknya sulit untuk diluruskan. Dan jika ada yang mengatakan dengan kata yang benar, karena sudah biasa menggunakan kata itu, terhadap kata yang benar malah menjadi asing, seolah-olah kata-kata yang baru. Hal ini antara lain karena bahasa itu milik bangsa, jika bangsa telah biasa menggunakannya, biasanya sudah tidak menghiraukan lagi kaidah benar-salah, sekalipun keliru dalam penggunaannya.
Kesalahan dan kekeliruan terhadap penggunaan kalimat “ada aliran” “perempatan lima” dan “beca” tampaknya tidak begitu berarti dan bermakna. Lain halnya dengan “halal bi halal” Karena-kalimat terakhir ini dalam tradisi masyarakat kita erat kaitannya dengan kegiatan-kegiatan yang berbau Islam, bernafaskan keislaman; dikaitkan dengan I’dul fitri, dalam tata caranya biasanya diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Alqur’ân yang ada hubungannya dengan Silaturahmi, Ceramah tentang hikmah silaturahmi, bersalaman, ramah-tamah sambil menikmati hidangan dan mendendangkan lagu-lagu kasidah dan sebagainya. Untuk itu, alangkah baiknya jika menggunakan bahasa yang benar, berarti dan bermakna. Katakan saja istilah yang digunakan kalimat “Silaturahmi” dalam tanda kutip, silaturahmi yang tidak karena dan hanya dilakukan setelah I’dul Fitri, tetapi dalam arti yang bersifat umum.
Telaah terhadap “Silaturahmi”.
Telaah Arti.
Kalimat silaturahmi dari bahasa Arab, tersusun dari dua kata silah yaitu, ‘alaqah (hubungan) dan kata al-rahmi yaitu, al-Qarabah (kerabat) atau mustauda’ al-janîn artinya “rahim atau peranakan”. (al-Munawwir, 1638, 1668) Kata al-Rahim seakar dengan kata al-Rahmah dari kata rahima “menyayangi-mengasihi”. Jadi secara harfiyah Silaturahmi artinya “Menghubungkan tali kekerabatan, menghubungkan kasih sayang”.
Al-Raghib (tt, 191) mengkaitkan kata rahim dengan rahim al-mar`ah (rahim seorang perempuan) yaitu tempat bayi di perut ibu. Yang bayi itu punya sifat disayangi pada saat dalam perut dan menyayangi orang lain setelah keluar dari perut ibunya. Dan kata rahim diartikan “kerabat” karena kerabat itu keluar dari satu rahim yang sama. Al-Raghib juga mengutip sabda Nabi, yang isinya menyebutkan, ketika Allah Swt menciptakan rahim, Ia berfirman, “Aku al-Rahman dan engkau al-Rahim, aku ambil namamu dari namaku, siapa yang menghubungkan padamu Aku menghubungkannya dan siapa yang memutuskan denganmu Aku memutuskannya”.
Ini memberi isyarat bahwa rahmah-rahim mengandung makna al-Riqqatu (belas-kasihan) dan al-Ihsân (kedermawanan, kemurahan hati). Ini sejalan dengan pendapat Abdurrahman Faudah (tt, 13) yang menyebutkan, “Rahmah adalah belas kasihan dalam hati yang menghendaki keutamaan dan kebaikan”.
Dengan makna di atas, secara harfiyah arti silaturahmi dapat dikatakan pula, menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang menghendaki kebaikan. Dan secara istilah makna silaturahmi, antara lain dapat dipahami dari apa yang dikemukakan Al-maraghi (1971, V:93) yang menyebutkan, “Yaitu menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan dengan sekemampuan”.
Telaah uslub bahasa.
Kalimat silaturahmi merupakan uslub Qur’ani, bahasa Al-Qur’ân, bahasa yang digunakan oleh Rasul Saw. Tentu tidak ada bahasa Arab yang lebih baik kecuali bahasanya Alqur’ân , bahasanya yang digunakan oleh Nabi, bukan bahasa Arab Ashriyah (modern) bukan pula bahasa Arab ‘Amiyah (bahasa Arab pasar) Alqur’ân telah mengisyaratkan tentang hal itu, antara lain firman Allah Swt, dalam al-Ra’du 21, "Walladziina yashiluuna maa amarallahu bihi an yuushala wa yakhsyauna rabbahum wa yakhaafuuna suu`al hisaab."
Terhadap lafadz Yashiluna para mufashir, seperti Al-Maraghi (V:93) Mahmud Hijazi (II:228) dan Shawi (II:336) Jalaludin al-Syuyuthi (IV:637) tidak berbeda pendapat, bahwa yang dimaksud adalah yashiluuna arrahmi menyambungkan kekerabatan, kasih sayang yang merupakan haq semua hamba. Dan kata Arrahmi ditunjukan pula oleh al-Kahfi dalam ayat 81 dengan kalimat Aqrabu rahman lebih dalam kasih sayangnya) Jadi silaturahmi itu bahasa Alqur’ân . Sementara kalimat silaturahmi yang disabdakan oleh Nabi dan sebagai bahasanya Nabi, banyak kita jumpai dalam hadits-hadits, antara lain: "Asra'ul khaira tsawaaban albirra wa shilatur rahmi." kebaikan yang paling cepat balasannya, yaitu berbuat kebaikan dan silaturahmi.
Telaah sejarah.
Seperti telah disebutkan di atas, kata al-rahmi erat kaitannya dengan wanita, yaitu, rahimnya seorang ibu, tempat janin dalam perut seorang wanita. Wanita pada masa Arab Jahili dipandang rendah tidak bernilai, karena itu bayi wanita yang baru lahir dari perut seorang ibu, mereka bunuh. Dan seorang ibu yang ditinggal mati oleh suaminya, dipandang harta pusaka yang dapat diwariskan kepada ahli warisnya.
Silaturahmi yang diperintahkan Allah Swt, tidak dapat dilepaskan dari tugas Rasul untuk melakukan (tazkiyah) pembersihan, yaitu dalam hal ini tazkiyah al-akhlak (Pembersihan prilaku) yang kotor yang dilakukan Arab Jahili, yang memandang wanita tidak benilai Maka untuk itu, Allah dan Rasulnya melarang membunuh anak wanita atau laki-laki, dalam firmannya al-An’am: 151, dan melarang menjadikan wanita sebagai harta pusaka, dalam firmannya An-Nisa: 19. Dalam hal berbakti, berbuat kebaikan, menghubungkan tali kekerabatan/silaturahmi, Islam memperhatikan terlebih dahulu kepada wanita. Dengan kata lain silaturahmi mengandung makna “Mengangkat derajat wanita” yang dulu direndahkan oleh orang Arab Jahili. Hal ini sebagaimana terungkap dalam beberapa hadits Nabi, antara lain, Khalid bin Ma’dan berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, sesungguhnya Allah mewasiatkanmu (berbuat baik) kepada ibumu (3X) Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya mewasiatkanmu (berbuat baik) kepada bapakmu (2X) kemudian bersabda, Ia wasiatkan kepadamu (berbuat baik) kepada yang lebih dekat lalu pada yang lebih dekat. (Ibnu Majah)
Dan dalam keterangan lain dari Abi Ramtsah ia berkata: Aku sampai pada Rasulullah, lalu aku mendengar ia bersabda: Berbuat baiklah kepada ibumu, dan bapakmu dan saudara perempuanmu dan saudara laki-lakimu kemudian kepada yang lebih dekat padamu lalu kepada yang lebih dekat padamu. (Shahihain)
Dalam Islam, diajarkan pula silaturahmi kepada orang yang telah meninggal, yaitu dengan cara menghubungkan kasih sayang kepada saudara orang yang telah mati yang masih hidup. Dalam sebuah hadits Ibnu Hibban dari Abi Burdah dijelaskan,
Ash-Shiddiqi (1977, Al-Islam, II:374) membagi silaturahmi kepada dua bagian, silaturahmi umum dan silaturahmi khusus;
Silaturahmi umum yaitu, silaturahmi kepada siapa saja; seagama dan tidak seagama, kerabat dan bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan diantaranya; menghubungi, mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur dan berbuat baik dan lain sebagainya yang bersifat kemanusiaan. Silaturahmi ini disebut silaturahmi kemanusiaan.
Silaturahmi khusus yaitu, silaturahmi kepada kerabat, kepada yang seagama, yaitu dengan cara membantunya dengan harta, dengan tenaga, menolong, menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemadharatan yang menimpanya, dan berdo’a, dan membimbing agamanya karena takut adzab Allah. Al-Maraghi (V:93) menyebutkan silaturahmi kepada kerabat mu’min, yaitu menghubungkan karena imannya, ihsan, memberi pertolongan, mengasihi, menyampaikan salam, menengok yang sakit, membantu dan memperhatikan haknya.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan:dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (QS. 17:26)
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk”. (QS. 13:21)
Dengan memperhatikan dan membandingkan dua hal di atas (Silaturahmi dan Halal bi halal) Silaturahmi lebih bermakna dari pada halal bi halal. Suatu kegiatan yang mengandung nilai baik, alangkah baiknya jika diberi nama yang baik pula. Tradisi berkumpul, bersalaman, saling memaafkan yang dilakukan sebagian orang di Indonesia setelah I’dul Fitri yang suka disebut halal bi halal, lebih bermakna jika disebut silaturahmi.
Silaturahmi dalam pandangan Islam tidak terikat waktu, dan tidak terikat pada yang seagama, tetapi kapan waktu, dan kepada siapa saja, seagama juga berbeda agama dengan cara-cara yang tertentu.
Halal bi Halal (halal dengan halal, saling menghalalkan) walaupun namanya mempergunakan bahasa (lafadz) Arab dan telah melembaga di kalangan penduduk Indonesia pada zaman Nabi Saw., dan juga zaman-zaman sesudahnya tidak ditemukan. Hingga abad sekarang; baik di negara-negara Arab maupun di negara Islam lainnya (kecuali di Indonesia) tradisi ini tidak memasyarakat atau tidak ditemukan. Sedangkan di Indonesia, tradisi ini baru mulai diselenggarakan dalam bentuk upacara sekitar akhir tahun 1940-an dan mulai berkembang luas setelah tahun 1950-an. (Ensiklopedi Islam, 2000) Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan halal bi halal berasal dari bahasa (lafadz) Arab yang tidak berdasarkan tata bahasa Arab (ilmu nahwu), sebagai pengganti istilah silaturahmi. Berasal dari kalangan yang tidak mengerti bahasa Arab, tetapi tetap mencintai Islam.
Dewasa ini, halal bi halal diselenggarakan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat muslim Indonesia, baik oleh kelompok dari suatu daerah tertentu, keluarga besar, kelompok kerja, kelompok pedagang, organisasi sosial-politik lembaga perusahaan swasta maupun intansi pemerintah. Dengan demikian tergabung dalam beberapa kelompok yang berbeda mengikuti kegiatan halal bi halal. Asal-usul tradisi halal bi halal, dari daerah mana, siapa yang memulai dan kapan kegiatan tersebut mulai diselenggarakan sulit diketahui dengan pasti. Karena, tradisi “Sembah Sungkem” (datang menghadap untuk menyatakan hormat dan bakti kepada orang tua, orang yang lebih tua, atau orang yang lebih tinggi status sosialnya) sudah membudaya dan ada pada pada hampir semua suku dalam masyarakat Indonesia.
Telaah terhadap istilah halal bi halal.
Untuk menghindari kesalah-pahaman terhadap makna, serta penggunaan kalimat halal bi halal, yang dalam tradisi di Indonesia, merupakan pengganti dari Silaturahmi, tampaknya tidak salah jika dilakukan telaah terhadap istilah tersebut, baik dari sisi arti kata, uslub bahasa, sejarah perkembangan makna, serta ilmu bahasa.
Telaah Arti.
Pada umumnya kelompok masyarakat yang mengadakan halal bi halal, mengartikan istilah halal bi halal itu dengan “Saling bebas membebaskan” atau “Saling maaf-memaafkan kesalahan dan dosa”. Jadi kata halal di sini, diartikan “Bebas” atau “Maaf”.
Kata al-Halal menurut Luwes ma’luf (1927:142) artinya Dhiddul Haram (sebalik dari haram). Dan kata al-Haram berarti; tercegah, terlarang, tidak boleh, yang diambil dari kata Mana’a-Harama “Mencegah”. Dengan demikian kata halal berarti “boleh” atau “tidak tercegah” Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim (tt:13) yang mengartikan al-halal searti dengan al-mubah atau al-Jaizu artinya “Boleh” (Tidak terlarang). Dengan demikian, kalimat halal bi halal, artinya “Boleh dengan boleh”, bukan saling bebas membebaskan atau saling maaf memaafkan.
Telaah uslub bahasa.
Mungkin saja orang yang menggunakan istilah halal bi halal, ia meniru uslub qur’ani. Dalam Alqur’ân ada uslub yang sepintas hampir mirip seperti itu, misalnya dalam surat al-Maidah 45, "Wa katabnaa 'alaihim fiehaa annan nafsa bin nafsi wal 'aina bil aini wal anfa bil anfi…" “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung…" (QS. Al-Maidah [5]:45)
Jika diperhatikan bentuk uslub dalam Alqur’ân di atas, kemudian dibandingkan dengan uslub al-Halal bi al-Halal sepintas seperti sama, padahal tidak sama, jika dilihat dari sisi makna dan isinya. Uslub yang terdapat dalam Alqur’ân di atas, mengandung makna qisas (hukum balas) yang berisikan seseorang yang telah dirugikan, dimadlaratkan oleh orang lain, dibalas dengan kemadlaratan lagi. Artinya, hal itu berlangsung dalam daur yang negatif dibalas dengan yang negatif pula. Sementara dalam halal bi halal berlangsung dalam kegiatan yang positif, kegiatan yang mengandung nilai baik; saling bersalaman, bersilaturahmi, saling memohon maaf, pengkajian agama dan yang lainnya. Bukan saling balas membalas dengan sesuatu yang memadlaratkan dan menyakitkan. Karena itu, bukan uslub Qur`ani.
Telaah sejarah makna.
Kata halal dahulu pernah digunakan oleh orang Arab jahili (khususnya kampung al-Hams dan Ahlu al-Yaman) saat berthawaf untuk arti dan maksud menghalalkan seluruh tubuh, kecuali bercampur (bersetubuh). Hal ini seperti ungkapan Jalaludin al-Suyuthi (1992, III:439) yang mengutip riwayat Ibnu Abi Syaibah bersumber dari Ibnu Abbas menyebutkan “Bahwasanya perempuan-perempuan berthawaf sambil telanjang, kecuali mereka menutupi parjinya dengan sobekan kain dan berkata, "Alyauma yabduu ba'dhahu au kulluhu wa maa badaa minhu falaauhillahu." Hari ini terbuka sebagian atau seluruhnya, dan apa yang tidak tampak (yang ditutupi) maka tidak Aku halalkan.
Apa yang diungkapkan Jalaludin al-Syuyuthi di atas, dapat diperkuat oleh perkataan Al-Maraghi (1971, III:132) yang mengutip riwayat Sa’id bin Jubair yang isinya, antara lain menyebutkan, “Dulu orang-orang berthawaf di Al-Bait bertelanjang, lalu datang seorang perempuan membuka lalu melemparkan bajunya kemudian berthawaf, menutupi parjinya dengan tangannya, dan berkata seperti perkataan di atas.
Telaah Bahasa.
Kalimat halal bi halal tersusun dari tiga kata, yaitu, halal, bi (al-bâ`u) dan halal, yang kemudian dibentuk menjadi “Halal bi halal”. Lafadz-lafadz tersebut berasal dari Bahasa Arab, tetapi terhadap susunan halal bi halal orang Arabnya sendiri (Shahib al-Lughah) tidak paham dan tidak mengerti terhadap maknanya. Karena itu halal bi halal bukan Bahasa Arab yang benar. Bahasa seperti ini dalam ilmu bahasa Arab (nahwu) disebut Lughah al-Wushtha, artinya, “Bahasa tengah-tengah” bahasa yang tidak ke sana juga tidak ke sini, atau bahasanya orang yang sedang belajar bahasa Arab. Dalam Bahasa Inggris suka disebut bahasa interferensi, bahasa orang yang baru mengenali bahasa, atau bahasa yang tarik-menarik. Kalimat halal bi halal tidak jauh berbeda dengan kalimat “ada-ada saja kamu” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi kalimat Wujud-wujud faqath anta atau kalimat, terutama atau khususnya kepada, diterjemahkan menjadi Wa bil khusus kepada. Kalimat-kalimat seperti ini sekalipun menggunakan lafadz Arab tetapi bukan bahasa Arab yang benar, bukan uslub Arab yang sesuai dengan ilmu Bahasa Arab (nahwu).
Kesalahan berbahasa hampir ada pada setiap penutur dan pengguna bahasa, termasuk juga dalam penuturan bahasa Indonesia. Misalnya, ketika lampu listrik tidak menyala orang menyebutnya “ada aliran“ padahal kalau ada aliran (listrik) lampu listrik tentu menyala, seharusnya orang menyebut “tidak ada aliran” Sampai sekarang orang masih mengatakan “perempatan lima“ yang semestinya menyebut “Simpang lima”. Demikian juga terhadap kendaraan sepeda yang beroda tiga, yang dikendarai oleh orang, suka disebut “Beca“ Padahal “Beca” adalah kendaraan yang ditarik oleh kuda, Be (kuda) Ca (kendaraan).
Kesalahan-kesalahan berbahasa seperti itu, sudah membudaya di kalangan masyarakat kita, sehingga nampaknya sulit untuk diluruskan. Dan jika ada yang mengatakan dengan kata yang benar, karena sudah biasa menggunakan kata itu, terhadap kata yang benar malah menjadi asing, seolah-olah kata-kata yang baru. Hal ini antara lain karena bahasa itu milik bangsa, jika bangsa telah biasa menggunakannya, biasanya sudah tidak menghiraukan lagi kaidah benar-salah, sekalipun keliru dalam penggunaannya.
Kesalahan dan kekeliruan terhadap penggunaan kalimat “ada aliran” “perempatan lima” dan “beca” tampaknya tidak begitu berarti dan bermakna. Lain halnya dengan “halal bi halal” Karena-kalimat terakhir ini dalam tradisi masyarakat kita erat kaitannya dengan kegiatan-kegiatan yang berbau Islam, bernafaskan keislaman; dikaitkan dengan I’dul fitri, dalam tata caranya biasanya diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Alqur’ân yang ada hubungannya dengan Silaturahmi, Ceramah tentang hikmah silaturahmi, bersalaman, ramah-tamah sambil menikmati hidangan dan mendendangkan lagu-lagu kasidah dan sebagainya. Untuk itu, alangkah baiknya jika menggunakan bahasa yang benar, berarti dan bermakna. Katakan saja istilah yang digunakan kalimat “Silaturahmi” dalam tanda kutip, silaturahmi yang tidak karena dan hanya dilakukan setelah I’dul Fitri, tetapi dalam arti yang bersifat umum.
Telaah terhadap “Silaturahmi”.
Telaah Arti.
Kalimat silaturahmi dari bahasa Arab, tersusun dari dua kata silah yaitu, ‘alaqah (hubungan) dan kata al-rahmi yaitu, al-Qarabah (kerabat) atau mustauda’ al-janîn artinya “rahim atau peranakan”. (al-Munawwir, 1638, 1668) Kata al-Rahim seakar dengan kata al-Rahmah dari kata rahima “menyayangi-mengasihi”. Jadi secara harfiyah Silaturahmi artinya “Menghubungkan tali kekerabatan, menghubungkan kasih sayang”.
Al-Raghib (tt, 191) mengkaitkan kata rahim dengan rahim al-mar`ah (rahim seorang perempuan) yaitu tempat bayi di perut ibu. Yang bayi itu punya sifat disayangi pada saat dalam perut dan menyayangi orang lain setelah keluar dari perut ibunya. Dan kata rahim diartikan “kerabat” karena kerabat itu keluar dari satu rahim yang sama. Al-Raghib juga mengutip sabda Nabi, yang isinya menyebutkan, ketika Allah Swt menciptakan rahim, Ia berfirman, “Aku al-Rahman dan engkau al-Rahim, aku ambil namamu dari namaku, siapa yang menghubungkan padamu Aku menghubungkannya dan siapa yang memutuskan denganmu Aku memutuskannya”.
Ini memberi isyarat bahwa rahmah-rahim mengandung makna al-Riqqatu (belas-kasihan) dan al-Ihsân (kedermawanan, kemurahan hati). Ini sejalan dengan pendapat Abdurrahman Faudah (tt, 13) yang menyebutkan, “Rahmah adalah belas kasihan dalam hati yang menghendaki keutamaan dan kebaikan”.
Dengan makna di atas, secara harfiyah arti silaturahmi dapat dikatakan pula, menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang menghendaki kebaikan. Dan secara istilah makna silaturahmi, antara lain dapat dipahami dari apa yang dikemukakan Al-maraghi (1971, V:93) yang menyebutkan, “Yaitu menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan dengan sekemampuan”.
Telaah uslub bahasa.
Kalimat silaturahmi merupakan uslub Qur’ani, bahasa Al-Qur’ân, bahasa yang digunakan oleh Rasul Saw. Tentu tidak ada bahasa Arab yang lebih baik kecuali bahasanya Alqur’ân , bahasanya yang digunakan oleh Nabi, bukan bahasa Arab Ashriyah (modern) bukan pula bahasa Arab ‘Amiyah (bahasa Arab pasar) Alqur’ân telah mengisyaratkan tentang hal itu, antara lain firman Allah Swt, dalam al-Ra’du 21, "Walladziina yashiluuna maa amarallahu bihi an yuushala wa yakhsyauna rabbahum wa yakhaafuuna suu`al hisaab."
Terhadap lafadz Yashiluna para mufashir, seperti Al-Maraghi (V:93) Mahmud Hijazi (II:228) dan Shawi (II:336) Jalaludin al-Syuyuthi (IV:637) tidak berbeda pendapat, bahwa yang dimaksud adalah yashiluuna arrahmi menyambungkan kekerabatan, kasih sayang yang merupakan haq semua hamba. Dan kata Arrahmi ditunjukan pula oleh al-Kahfi dalam ayat 81 dengan kalimat Aqrabu rahman lebih dalam kasih sayangnya) Jadi silaturahmi itu bahasa Alqur’ân . Sementara kalimat silaturahmi yang disabdakan oleh Nabi dan sebagai bahasanya Nabi, banyak kita jumpai dalam hadits-hadits, antara lain: "Asra'ul khaira tsawaaban albirra wa shilatur rahmi." kebaikan yang paling cepat balasannya, yaitu berbuat kebaikan dan silaturahmi.
Telaah sejarah.
Seperti telah disebutkan di atas, kata al-rahmi erat kaitannya dengan wanita, yaitu, rahimnya seorang ibu, tempat janin dalam perut seorang wanita. Wanita pada masa Arab Jahili dipandang rendah tidak bernilai, karena itu bayi wanita yang baru lahir dari perut seorang ibu, mereka bunuh. Dan seorang ibu yang ditinggal mati oleh suaminya, dipandang harta pusaka yang dapat diwariskan kepada ahli warisnya.
Silaturahmi yang diperintahkan Allah Swt, tidak dapat dilepaskan dari tugas Rasul untuk melakukan (tazkiyah) pembersihan, yaitu dalam hal ini tazkiyah al-akhlak (Pembersihan prilaku) yang kotor yang dilakukan Arab Jahili, yang memandang wanita tidak benilai Maka untuk itu, Allah dan Rasulnya melarang membunuh anak wanita atau laki-laki, dalam firmannya al-An’am: 151, dan melarang menjadikan wanita sebagai harta pusaka, dalam firmannya An-Nisa: 19. Dalam hal berbakti, berbuat kebaikan, menghubungkan tali kekerabatan/silaturahmi, Islam memperhatikan terlebih dahulu kepada wanita. Dengan kata lain silaturahmi mengandung makna “Mengangkat derajat wanita” yang dulu direndahkan oleh orang Arab Jahili. Hal ini sebagaimana terungkap dalam beberapa hadits Nabi, antara lain, Khalid bin Ma’dan berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, sesungguhnya Allah mewasiatkanmu (berbuat baik) kepada ibumu (3X) Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya mewasiatkanmu (berbuat baik) kepada bapakmu (2X) kemudian bersabda, Ia wasiatkan kepadamu (berbuat baik) kepada yang lebih dekat lalu pada yang lebih dekat. (Ibnu Majah)
Dan dalam keterangan lain dari Abi Ramtsah ia berkata: Aku sampai pada Rasulullah, lalu aku mendengar ia bersabda: Berbuat baiklah kepada ibumu, dan bapakmu dan saudara perempuanmu dan saudara laki-lakimu kemudian kepada yang lebih dekat padamu lalu kepada yang lebih dekat padamu. (Shahihain)
Dalam Islam, diajarkan pula silaturahmi kepada orang yang telah meninggal, yaitu dengan cara menghubungkan kasih sayang kepada saudara orang yang telah mati yang masih hidup. Dalam sebuah hadits Ibnu Hibban dari Abi Burdah dijelaskan,
Ash-Shiddiqi (1977, Al-Islam, II:374) membagi silaturahmi kepada dua bagian, silaturahmi umum dan silaturahmi khusus;
Silaturahmi umum yaitu, silaturahmi kepada siapa saja; seagama dan tidak seagama, kerabat dan bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan diantaranya; menghubungi, mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur dan berbuat baik dan lain sebagainya yang bersifat kemanusiaan. Silaturahmi ini disebut silaturahmi kemanusiaan.
Silaturahmi khusus yaitu, silaturahmi kepada kerabat, kepada yang seagama, yaitu dengan cara membantunya dengan harta, dengan tenaga, menolong, menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemadharatan yang menimpanya, dan berdo’a, dan membimbing agamanya karena takut adzab Allah. Al-Maraghi (V:93) menyebutkan silaturahmi kepada kerabat mu’min, yaitu menghubungkan karena imannya, ihsan, memberi pertolongan, mengasihi, menyampaikan salam, menengok yang sakit, membantu dan memperhatikan haknya.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan:dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (QS. 17:26)
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk”. (QS. 13:21)
Dengan memperhatikan dan membandingkan dua hal di atas (Silaturahmi dan Halal bi halal) Silaturahmi lebih bermakna dari pada halal bi halal. Suatu kegiatan yang mengandung nilai baik, alangkah baiknya jika diberi nama yang baik pula. Tradisi berkumpul, bersalaman, saling memaafkan yang dilakukan sebagian orang di Indonesia setelah I’dul Fitri yang suka disebut halal bi halal, lebih bermakna jika disebut silaturahmi.
Silaturahmi dalam pandangan Islam tidak terikat waktu, dan tidak terikat pada yang seagama, tetapi kapan waktu, dan kepada siapa saja, seagama juga berbeda agama dengan cara-cara yang tertentu.
Langganan:
Postingan (Atom)