Rabu, 11 Januari 2012

Makna Silaturahmi


Kamis, january 01, 2012 Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgS2wpFSOdO4e7tV0OhXl_YIgnzP9BbQmh99wcOzcNuREIjbsBsv8uVYnwJ1ijEdYihQQArN2Qhu7xubY7TxlVTyJIB1brTq352w-P9Wbce-wiXtqo_kzRmNHyXGghoXNOkbepcL4ve-mo/Buletn Jum'at Pajagalan Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihmIZ_B5XSckFeunAj4IOSbwp-fMKv0cGwXm3RFufK0iI4tQWZJmK5d524hVs3PvBR1ZCVR7vNefOjUhWjOj3z_OL7AIdQrOMIBiDr_3PenOAkjUdsAftEroXC5_K4rCQTEd_ITh6cjF8/s1600/comments.png1 comment
Diantara ayat yang sering dijadikan dasar bahwa kita wajib bersilaturahmi adalah surat Annisa ayat 1 yang didalamnya terdapat kalimat yang berbunyi, Wataqullâh alladzî tasã`alûna bihî wal arhâm… “Dan bertakwalah kepada Allâh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.”

Arhâm bentuk jama dari kata rahim yang berarti kandungan. Imam Alqosimi di dalam tafsirnya memberikan pengertian dengan makna “wattaqul arhâm” (nitip rahim, nitip kandungan).

Sepintas terasa agak aneh, Allâh menitipkan kandungan, tapi menurut ahli ilmu bayan/balaghoh kalimat seperti ini termasuk kalimat Majaz Mursal, min ithlaqil mahâl lil iradati hâl, disebut tempat yang dimaksud adalah yang menempatinya.

Wattaqul arhâm. Nitip kandungan jelas maknanya adalah yang keluar dari kandungan yaitu anak dan keturunan. Jadi kalau kita tarik pemahaman dari kalimat yang diambil dari surat Annisa ayat 1 tadi. Allâh berpesan bertakwalah kamu kepada Allâh wahai para orang tua dan didik (jaga) anak keturunan kamu supaya mereka menjadi manusia-manusia yang bertakwa juga.

Di lingkungan kita banyak yang memahami makna silaturahmi itu sebatas mengadakan pertemuan keluarga atau pertemuan warga. Lalu saling mengenalkan hubungan kekerabatan; ini kakek, paman, bibi, keponakan, dstnya. Memang itu pun mempunyai nilai positif, tapi yang disebut silaturahmi tidak sebatas itu, bukan hanya memperkuat hubungan kekerabatan semata, yang lebih esensial (penting dan mendasar) adalah bagaimana memperkuat hubungan keimanan, ketakwaan pada lingkungan keluarga masing-masing.

Dalam tafsir Ibnu Katsier tercatat sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Jarir, Rasûlullâh Saw., bersabda, “Nanti di hari kiamat diantara hamba-hamba Allâh ada sekelompok orang yang mendapat tempat istimewa di surga, mereka itu bukan para Nabi juga bukan Syuhada, malah para Nabi dan Syuhada tertarik dengan kedudukan mereka di sisi Allâh pada hari kiamat. Mendengar pernyataan seperti para sahabat semangat untuk bertanya, ‘Yaa Rasûlullâh, manusia macam apakah yang akan mendapat tempat istimewa di surga?’ Nabi tidak menyebut nama juga kelompok, tapi menyebutkan sifat, mereka yang akan mendapatkan tempat istimewa di surga adalah yang ketika hidupnya di dunia saling mencintai, menyayangi dengan dasar karena Ruh Allâh (keimanan, keislaman dan ketakwaan) bukan karena ikatan harta atau keturunan.”

Wajar jika seorang kakek sayang kepada cucunya karena ada hubungan famili, pantas jika mertua sayang kepada menantu karena terikat oleh anak, normal jika seorang pedagang sayang kepada pelanggan karena ada ikatan simbiosa mutualistis (hidup saling menguntungkan yang terkait dengan harta). Tapi ternyata yang membawa akibat yang positif nanti di akhirat -sampai di tempatkan di kelas istimewa di surga-, bukan ikatan kekeluargaaan atau bisnis, tapi lebih karena ikatan rasa keimanan, keislaman, dan ketakwaan.

Oleh sebab itu maka yang di maksud dengan silaturahmi jelas bukan hanya sebatas mengumpulkan keluarga dan saling mengenalkan hubungan kekerabatan tapi bagaimana kita memperkokoh kualitas keimanan dan ketakwaan dalam keluarga kita.

Bukankah putra Nabi Nûh yang bernama Kan’an oleh Allâh ditenggelamkan di lautan banjir besar. Ketika Nabi Nûh meminta pertolongan kepada Allâh untuk menyelamatkan anaknya, Allâh menjawab, “Wahai Nûh, dia (Kan’an) bukan keluargamu!.” Ahli tafsier memaknai karena dia (Kan’an) tidak beramal sholeh seperti bapaknya (Nûh).

Dari cerita Nûh dan anaknya kita bisa belajar bahwa makna silaturahmi itu tidak hanya sebatas bersalaman mengadakan pertemuan tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita memperkokoh kualitas keimanan, keislaman, dan ketakwaan dalam lingkungan keluarga kita sehingga kita bersama-sama menjadi manusia-manusia yang bertakwa.

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Qs. Ath-Thuur [52]:21)

Mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allâh untuk menjaga dan memelihara silaturahmi khususnya dilingkungan keluarga kita masing-masing.

Khutbah kedua
Jika akhir-akhir ini ada gejala munculnya kembali orang mengaku Nabi dan ada pula aliran yang mengingkari sunnah Nabi. Sebenarnya gejala ini sudah diprediksi oleh Nabi sebelumnya, seperti sabdanya, “Tidak akan terjadi kiamat sehingga bermunculan Dajal-Dajal yang semuanya mengaku dirinya sebagai Rasûlullâh.” Sedangkan Allâh dalam firman-Nya dengan tegas menyatakan posisi Nabi Muhammad sebagai, “Rasûlullâh dan penutup para Nabi.” (Qs. Al Ahzab [33]:40)

Dalam Shohih Bukhari Nabi bersabda, “Bani Isrâil adalah sebuah bangsa yang secara terus menerus dibimbing oleh para Nabi, setiap Nabi wafat, Allâh menurunkan Nabi pengganti. Dan sesungguhnya tidak akan ada lagi Nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlahnya banyak.”

Jadi baik ayat Alqurân atau hadits Nabi sudah menegaskan bahwa Muhammad Saw., adalah Nabi dan Rasûl terakhir. Jika kemudian ada orang mengaku Nabi, kita tidak perlu kaget karena itu sudah muncul sejak zaman Nabi sendiri; tokoh yang bernama Musailamah Al-Kadzab, termasuk yang kemudian muncul tokoh Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad.

Rasûlullâh Saw., bersabda, “Sesungguhnya Allâh tidak mengutus seorang Nabi pun kecuali pasti mengingatkan kepada umatnya bahwa akan muncul Dajal dan aku adalah Nabi terakhir dan kalian adalah umat terakhir. Dan Dajal akan muncul diantara kalian. Dajal itu akan nampak dan berkata, ‘Aku adalah Nabi’ padahal tidak ada lagi Nabi sesudah aku.”

Dengan dalih apapaun, argument bagaimanapun, sebanyak apapun pengikutnya jika mengaku Nabi sesudah Nabi Muhammad itulah yang disebut Dajal. Artinya tidak boleh kita ikuti, kita imani, apalagi jika dia menganjurkan untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban sebagai seorang muslim.

Mudah-mudahan kita tetap ada dalam hidayah Allâh, tidak terkecoh dan terbujuk oleh kelompok-kelompok yang akan menyesatkan kita, membawa kita ke arah yang jauh dari ridlo Allâh Swt.[*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar