Pengantar
Sukarman, MA |
Masa remaja atau masa adolesence merupakan masa yang menarik untuk
diungkap dari kehidupan manusia, karena pada masa tersebut remaja awal sedang
mengalami proses perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.[1]
Pada masa ini remaja mendapatkan tugas-tugas baru (developmental tasks) yang harus diselesaikan, sebelum remaja
melangkah ke tahap perkembangan berikutnya. Masa tersebut merupakan masa
kritis, yaitu munculnya berbagai masalah yang berasal dari faktor internal dari
dalam diri remaja maupun faktor eksternal lingkungan sekitar.[2] Bila
penanganan terhadap remaja tidak tepat dapat menimbulkan perilaku menyimpang.
Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang
mengganggu.[3]
Perilaku menyimpang, dapat ditunjukan dengan adanya
tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan remaja. Kekerasan
merupakan bentuk-bentuk perilaku yang bertujuan untuk menyakiti orang lain baik
secara fisik maupun mental. Artinya, kekerasan dapat diartikan sebagai suatu
tindakan yang bertujuan untuk menghalang-halagi atau menghambat orang lain
dalam melakukan kegiatan tertentu.[4]
Bentuk tindakan kekerasan dapat berupa pemukulan, penghasutan, pelemparan,
pengrusakan banda atau barang. Kekerasan dalam bentuk verbal dapat berupa
menfitnah, mencaci-maki melontarkan kata-kata kotor, dan memanggil orang lain
dengan sebutan binatang.
Kekerasan seringkali disebabkan oleh kondisi emosi yang cepat meledak dan
sulit untuk dikendalikan. Hal tersebut menimbulkan kemarahan yang tidak
terbendung. Bentuk manipulasi dan kesalahan sedikitpun akan direspon dengan
bentuk kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung, baik kekerasan
dalam bentuk penganiayaan fisik, verbal maupun non verbal.[5] Kekerasan muncul karena
adanya tekanan psikologis. Selain itu, remaja yang tinggal dalam lingkungan yang negatif juga dapat
mengakibatkan munculnya tindakan kekeras. [6]
Data statistik Brazilian National
council for child and adolescent rights [CONANDA dalam Algeri & Souza, 2006) menyebutkan
bahwa sekitar enam setengah juta atau 67% anak remaja mengalami kekerasan verbal
setiap tahunnya dan kekerasan dalam bentuk fisik yaitu pemukulan, penganiayaan
yang mengakibatkan luka serius terdapat sekitar delapan belas juta atau 85 %
setiap tahun.
Hal tersebut dibuktikan di beberapa Negara seperti
Norwegia dan Spanyol bentuk kekerasan yang sering dilakukan oleh remaja adalah
kekerasan verbal, seperti menghina, mengeluarkan kata-kata kotor dan menghujat
kelompok lain. Pada tahun 2006, kekerasan dalam bentuk menghina orang lain
sebanyak 30 %, sedangkan mengeluarkan kata-kata kotor dan menghujat sebanyak
38,1%. Pada tahun 2007 tingkat kekerasan semakin meningkat, disamping menghina
dan mengeluarkan kata-kata kotor remaja juga sudah mulai melakukan aksi
kekerasan dalam bentuk fisik, seperti menendang sebanyak 15,1 %, dan perilaku
mendorong teman sebanyak 10,5% terjadi pada remaja pria.[7]
Banyak penelitian menunjukan remaja yang mengalami tindakan kekerasan
fisik akan mengembangkan perilaku agresif diantaranya tindakan kriminal,
kejahatan dan masalah-masalah kesehatan mental pada saat dewasa nanti (Patnani
dkk, 2002); anak-anak dan remaja yang mengalami kekerasan, berisiko tinggi
mengalami masalah kesehatan mental seperti post
traumatic syndrome (PTSD), penilaian terhadap masalah yang keliru, gangguan
perilaku dan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), hal tersebut menyebabkan anak mengalami trauma, merasa menjadi
korban, merasa tak berdaya, serta munculnya kemarahan yang luar biasa.
Kekerasan dapat mengakibatkan kerentanan mengalami gangguan kemampuan sosial,
emosi dan kognitif selama hidupnya serta perilaku kesehatan berisiko.[8]
Bentuk kekerasan yang terjadi meliputi tawuran, perkelahian,
penganiayaan, penodongan benda-benda tajam yang menjurus pada perilaku
menghilangkan nyawa orang lain. Contoh, sejumlah fakta menyebutkan bahwa siswa
senior di SMA memaksa puluhan siswa untuk berkelahi dengan siswa junior
disebabkan karena siswa junior memarkirkan sepeda motor ditempat siswa senior.
Akibat dari perkelahian tersebut dari 68
siswa senior 34 orang mengalami luka-luka.[9] Di
sekolah lain, dikeroyok oleh teman seniornya hanya karena hal sepele, akibatnya
yang bersangkutan mengalami bengkak di bagian kepala dan pinggul. Selain itu,
tujuh pemuda tega membakar temannya di sebuah permainan playstation, disebabkan karena si korban memanggil temannya dengan
kata-kata kotor, sehingga temannya tersebut tidak menerima ejekan, dan temannya
tersebut mengajak teman-teman yang lain untuk melakukan penganiayaan dengan
menyiram minyak tanah di sekucur badan si korban, peristiwa tersebut terjadi di
Serdang sumatera utara.[10]
Kekerasan yang terjadi di wilayah Lombok Tengah seringkali terjadi pada
anak-anak terutama usia remaja, di antaranya perkelahian antar pelajar, dan
perang antara tetangga desa. Contoh kasus yang terjadi, seperti tawuran remaja
antara dua desa yang tidak pernah selesai, walaupun di daerah tersebut telah
dibangun posko keamanan warga. Kasus lain, pada bulan Ramadhan yang seharusnya
sesama warga menahan diri terhadap perkelahian, namun 6 orang meninggal dan
puluhan orang lainnya mengalami luka-luka. Tawuran terjadi disebabkan karena
remaja desa yang satunya mengeluarkan kata-kata kotor terhadap remaja desa
sebelahnya. Kelompok remaja tersebut tidak menerima penghinaan kemudian mereka
melakukan penyerangan secara membabi-buta, dan peristiwa tersebut terjadi pada
malam takbiran sehingga warga desa yang sedang merayakan malam takbiran merasa
terganggu.[11]
Di samping pengamanan polisi, peristiwa kekerasan perlu melibatkan peran
orangtua, orangtua adalah pihak yang terdekat dan bertanggung jawab atas kehidupan
anak-anak mereka. Keluarga (orangtua) merupakan bentuk komunitas masyarakat
terkecil yang terdiri dari beberapa orang berdasarkan ikatan perkawinan atau
ikatan darah yang membentuk suatu rumah tangga yang saling berinteraksi antara
satu dengan yang lain.[12]
Keluarga diharapkan dapat memberikan landasan bagi perkembangan remaja, karena
di dalam keluarga remaja dapat belajar dan menyatakan diri sebagai manusia
sosial. Sosialisasi adalah proses yang digunakan remaja untuk memperoleh nilai
sosial, kepercayaan dan standar perilaku yang diharapkan.
Pola asuh orangtua di Lombok cenderung kaku, kurang komunikatif, dan
selalu memberi ancaman bila anak tidak mematuhi perintah orangtua.[13] Orangtua
yang otoriter menetapkan dengan tegas dan tidak memberi peluang yang besar
kepada anak-anak untuk berdiskusi, menuntut kepatuhan dan konformitas yang
tinggi. Hurlock pola asuh otoriter yang diterapkan dalam keluarga, atau
orangtua menganggap bahwa tindakan tersebut merupakan hal biasa dilakukan dalam
rumah, akan tetapi dapat dilihat bahwa remaja Lombok yang diberlakukan keras
dalam rumah merasa tidak nyaman dan cenderung untuk mencari teman sebaya.[14]
Peran orangtua bagi perkembangan remaja adalah memberikan pengertian dan
pemenuhan remaja sesuai dengan tahap perkembangannya. Timbulnya berbagai macam
permasalahan kekerasan pada remaja dapat disebabkan karena pemberian pola asuh
orangtua yang otoriter. Pola asuh tersebut menuntut remaja untuk mengikuti dan
mematuhi semua kehendak dan keinginan orangtua, sehingga mengakibatkan remaja
cenderung melakukan kekerasan di luar lingkungan keluarga atau dilingkungan
teman sebaya yang dianggap lemah.
Selain itu, orangtua yang lalai dalam pemberian nilai-nilai serta moral
keagamaan akan memberi dampak negatif dalam perkembangan pergaulan anak dengan
lingkungan sosial. Fungsi agama merupakan sangat penting dalam pembentukan
moral dan perilaku anak. Remaja yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi
akan memberikan dampak yang positif sedangkan remaja yang memiliki religiusitas
yang rendah sangat rentan terhadap perilaku kekerasan terhadap teman sebaya
disebabkan karena kontrol agama yang tidak tepat.[15]
Sedangkan dalam pendapat yang lain menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat
suatu instink atau naluri yang disebut religious
instink, yaitu naluri untuk mengadakan peyembahan terhadap kekuatan yang di
luar diri, hal ini dapat dikaitkan dengan kepercayaan-kepercayaan dan
upacara-upacara ritual baik zaman dahulu maupun sekarang.[16]
Glock dan Stark melihat konsep religiusitas sebagai komitmen religi
individu yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang
bersangkutan terhadap agama atau kepercayaan yang dianutnya.[17] Sedangkan
pendapat lain menyebutkan bahwa agama adalah hubungan antara mahluk dengan
Kholik (Tuhan) yang berwujud ibadah yang dilakukan dalam sikap keseharian.[18]
Bertolak dari definisi religiusitas, maka segala tindakan dan perbuatan yang
dilakukan adalah tidak terlepas dari tingkat religiusitas seseorang terhadap
Tuhan yang Maha Kuasa. Menurut Daradjat individu yang memiliki tingkat
religiusitas tinggi, secara otomatis akan dapat mengontrol perilaku individu
dalam bertindak.[19] Dalam
menekan tingkat kekerasan yang terjadi pada remaja, tindakan yang seharusnya
dilakukan adalah memberikan pengarahan kepada setiap orangtua tentang akibat
dari pola asuh otoriter terhadap perkembangan remaja.
Melaksanakan kegiatan keagamaan atau ibadah sangat penting bagi individu
.Adapun bentuk pengajaran yang dilakukan adalah memperkenalkan anak pada
ciptaan tuhan, kemudian menyuruh anak untuk mencintai Tuhan dan ciptaan-Nya,
termasuk saling mencintai antar sesama manusia dengan saling memberi kasih
sayang dan berempati.[20]
Menurut Bridges & Moore bentuk pengajaran yang dilakukan adalah mengenal
tuhannya. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil survai yang
dilakukan oleh lembaga University of
Michigan. Sekitar 60 % remaja yang mengikuti ritual kegiatan keagamaan
secara terus menerus memandang bahwa saling memberi kasih sayang adalah bentuk
dari keindahan yang dapat mengontrol individu dalam melakukan kebaikan dan
berempati terhadap orang lain.[21]
Dari penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan
antara persepsi terhadap kekerasan ditinjau dari pola asuh otoriter dan
religiusitas pada remaja Lombok Tengah.
Pembahasan
Menurut Algeri & Souza persepsi terhadap
kekerasan adalah bentuk penilaian orang terhadap ancaman yang dapat mengganggu kehidupan
orang lain.[22] Adapun penilaian
terhadap ancaman yang paling besar dalam melakukan tindakan kekerasan adalah
timbulnya kekerasan fisik, verbal, dan bentuk-bentuk tindakan kekerasan yang
secara langsung mengakibatkan luka-luka dan kematian. Kekerasan dapat
diartikan sebagai bentuk penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain yang bertujuan kearah tindakan kriminal.[23]
Kekerasan juga diartikan sebagai kategori masalah terbesar yang dialami oleh
individu, hal tersebut akan mempengaruhi kepribadian yang ada di dalam diri dan
dalam hubungan individu dengan sosial masyarakat menjadi terganggu.[24]
Kekerasan mengandung
resiko dan kerugian bagi orang lain maupun pelaku kekerasan itu sendiri.
Kekerasan dapat terjadi dalam lingkup yang luas baik dalam keluarga, sekolah
maupun masyarakat. Perilaku kekerasan remaja menjadi isu yang serius, seperti
tawuran siswa, perselisihan antar pribadi, pelecehan terhadap guru maupun
orangtua siswa yang dapat mengakibatkan luka fisik bahkan kematian. Kekerasan
muncul dari sikap bermusuhan, benci, berdebat, mencela, kritis, menghinakan, sinis, sadis, cemburu,
iri hati, dan menipu orang lain. Perilaku kekerasan seperti ini sama-sekali
tidak memberikan solusi yang tepat, bahkan akan menimbulkan sebuah pertikaian
atau kekerasan yang berdampak pada adanya niat untuk menghilangkan nyawa orang
lain[25]
Menurut Ramirez setiap manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan
kekerasan, namun manifestasi dari tindakan kekerasan tersebut akan berbeda pada
individu yang satu dengan lainnya. Aspek kekerasan dibedakan dua macam yaitu
kekerasan instrumental (Instrumental
Agression) dan kekerasan dalam motif benci (Hostile Agression) atau disebut juga kekerasan impulsif.[26]
Adapun kekerasan instrumental adalah kekerasan yang dilakukan oleh organisme
atau individu sebagai cara untuk mencapai tujuan, sedangkan kekerasan yang
ditunjukan dengan sikap benci adalah kekerasan semata-mata sebagai pelepasan
keinginan untuk melukai atau menyakiti atau kekerasan tanpa tujuan, selain
menimbulkan efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau korban.
Ramirez
juga mengemukakan ada delapan klasifikasi bentuk kekerasan yaitu; 1) Kekerasan
fisik secara langsun, 2) Kekerasan fisik secara tidak langsung, 3) Kekerasan
fisik pasif secara langsung, 4) Kekerasan fisik pasif secara tidak langsung, 5)
Kekerasan verbal secara langsung, 6) Kekerasan verbal aktif secara tidak
langsung, 7) Kekerasan verbal pasif secara langsung, 8) Kekerasan verbal pasif
secara tidak langsung. Menurut Helmi dan Soedarjo (1998) ada tiga kelompok
perspketif yang menjelaskan penyebab tindakan kekerasan yaitu tindakan yang
disebabkan faktor internal, kebiasaan yang dipelajari, dan situasi yang memicu
kekerasan.[27]
Menurut Myers ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan
kekerasan sebagai berikut; a) Kondisi Aversif merupakan suatu keadaan yang
tidak menyenangkan yang ingin dihindari oleh seseorang individu atau kelompok. [28]Menurut
Barkowitz keadaan yang tidak menyenangkan akan membuat seseorang mencoba untuk
membuat keseimbangan dengan cara berusaha menghilangkan atau mengurangi atau
mengubah situasi lingkungan. Adapun situasi dan kondisi aversif tersebut
meliputi; rasa sakit (pain), panas (hot), serangan (attacks), kondisi yang padat (crowding).
b) Amarah
merupakan
emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi
dan adanya perasaan tidak suka sangat kuat, dan biasanya disebabkan oleh adanya
kesalahan yang mungkin memang salah atau tidak.[29]
Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, memukul, menghancurkan atau
melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal tersebut
terjadi, maka rentan terjadi tindakan kekerasan [30]. c)
Faktor biologis, ada tiga faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi,
yaitu gen, sistem otak, dan kimia darah.
d) Lingkungan, Para peneliti menggunakan studi korelasi dan
eksperimen untuk menguji pengaruh tayangan kekerasan. Semakin keras acara
tayangan televisi yang ditonton anak-anak, akan menyebabkan tindakan kekerasan
semakin meningkat. Penelitian yang dilakukan Steur dkk, Atkinson dkk, menunjukan
bahwa anak-anak yang menonton film kartun yang berisi kekerasan maka rentan
sekali untuk melakukan kekerasan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan
teman-teman sebaya, sedangkan anak yang tidak menonton film kartun yang
berisikan kekerasan tidak menunjukan perubahan perilaku kekerasan diri sendiri
maupun dalam berinteraksi dengan orang lain.[31]
d) Pola asuh otoriter, Pola asuh yang tidak tepat dapat memberi dampak negatif
terhadap diri anak.[32] Menurut
Santrock anak yang diasuh dengan sikap keras, sering memberi hukuman, mendekte
dan membatasi pergaulan anak dan orangtua jarang memberi kasih sayang serta
kehangatan dalam keluarga, hal tersebut merupakan ciri-ciri dari pola asuh
otoriter.[33]
Religiusitas merupakan sikap keagamaan, yaitu suatu keadaan yang ada dalam diri
seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar
ketaatannya terhadap ajaran agama.[34]
Pendapat Jalaluddin tersebut lebih menekankan pada ketaatan seseorang terhadap
ajaran agamanya, yang diwujudkan dalam tingkah laku. Menurut Bridges &
Moore remaja yang diberikan bimbingan terhadap ajaran agama sejak lahir sampai
dewasa, maka akan memberi dampak negatif terhadap tindakan kekerasan.[35]
Pola asuh adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh orang yang lebih
dewasa terhadap remaja yang membutuhkan bimbingan.[36]
Menurut Gunarsa pola asuh merupakan gaya pendidikan orangtua terhadap
anak atau perlakuan orangtua terhadap anak dalam rangka memenuhi kebutuhan,
memberi perlindungan dan mendidik anak untuk mematuhi norma-norma atau
nilai-nilai dalam masyarakat. [37]Pola
asuh orangtua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat
relatif konsisten dari waktu ke waktu. Adapun
Hurlock membagi pola asuh menjadi tiga tipe; a) Pola asuh otoriter, b) Pola
asuh demokratis, dan c) Pola asuh permisif.[38]
Pola asuh otoriter adalah sikap atau cara mengasuh orangtua, yang
ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dan memaksakan anak untuk
bertingkah laku seperti yang diinginkan oleh orangtuanya. Pola
asuh otoriter adalah salah satu pola asuh yang paling umum di seluruh dunia.[39]
Menurut Baumrind dalam Santrock pola pengasuhan otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan
menghukum, yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orangtua dan menghormati
pekerjaan dan usaha.[40]
Menurut Hurlock pola asuh otoriter ini meliputi aspek-aspek: yaitu (1)
Peraturan, (2) Hukuman,(3) Hadiah,(4) Perhatian,dan (5) Tanggapan. Selain
itu, Menurut Baumrind (Berkowitz, 1993) pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri
aspek meliputi; orangtua suka mendikte dan mengontrol remaja dengan ketat dan
kaku, selalu menuntut kepatuhan, hubungan orangtua dengan remaja tidak hangat,
tidak mendorong remaja untuk mandiri dan menuntut remaja mempunyai tanggung
jawab sebagaimana orang dewasa, menanamkan disiplin yang kaku, tidak ada kasih
sayang dan simpatik terhadap remaja.[41]
Sedangkan Mussen, dkk. mengemukakan beberapa faktor di dalam pola asuh
otoriter yaitu; 1) Kontrol: meliputi segala usaha orang tua untuk mempengaruhi
aktivitas yang bertujuan (goal oriented
activity) memodifikasi ekspresi dari rasa ketergantungan anak, meningkatkan
internalisasi standar orangtua, 2) Tuntutan agar ditampilkan tingkah laku yang
matang, meliputi tuntutan penekanan pada anak agar dapat menampilkan prestasi
yang tinggi, kematangan sosial dan emosional yang tinggi pula. 3) Pola hubungan
orang tua dan anak (clarity of
parent-child communication): orang tua memberikan penjelasan dalam membuat aturan-aturan bagi
anak dan menanyakan kepada anak. 4) Pemeliharaan terhadap anak (parental nurturance) termasuk
keterlibatan orang tua dalam pengasuhan anak menunjukkan rasa kasih sayang,
kehangatan dan pengertian kepada anak.[42]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh
otoriter adalah bagian dari sikap kekerasan yang ditujukan oleh orangtau
terhadap anak-anak. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa pola asuh otoriter
merupakan bagian dari pengasuhan yang tidak tepat dan menyimpang dari
norma-norma dan melanggar hak seorang anak.
Thouless dalam pendapatnya Jalaluddin menyebutkan bahwa agama adalah
sikap atau cara menyesuaikan diri terhadap dunia yang mencakup acuan yang
menunjukan pada lingkungan yang lebih luas dari lingkungan dunia fisik yang
terikat ruang dan waktu.[43]
Selain itu, agama merupakan suatu yang mengikat atau menuntun manusia untuk
senantiasa beribadah kepada Tuhannya. Selain itu, juga religiusitas merupakan penghayatan keagamaan atau kedalaman kepercayaan
yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa dan membaca
kitab suci. [44]
Menurut Bridges & Moore, Agama disebut juga sebagai iman atau
kepercayaan yang menjadi aspek penting dalam suatu ajaran agama. Agama dianggap
penting karena tingkat religiusitas seseorang dapat diukur dari aspek keimanan
dan ketakwaan individu terhadap Tuhan masing-masing.[45]
Menurut Jalaluddin mengemukakan bahwa konsep ajaran agama Islam harus
dirujuk dari berbagai aspek, antara lain aspek keagamaan seperti kepercayaan
(iman), kesejahteraan (Islam) dan aspek tanggung jawa seorang muslim untuk
melakukan kebijakan terhadap orang lain di luar diri mereka (Ihsan).[46]
Glock & Stark menyebutkan lima dimensi religiusitas, sebagai
berikut; a) Religious beliefs, b) Religious practice, c) Religious feeling, d) Religious knowledge, d) Religious effect.[47]
Sedangkan Studi yang dilakukan (Masrun dkk., 1987/1988) menyebutkan ada lima
dimensi pengalaman ajaran Islam, yaitu; a) Dimensi Iman, b) Dimensi Islam, c)
Dimensi Ikhsan, d) Dimensi Ilmu, dan e) Dimensi Amal.
Disamping itu, Daradjat
mengemukakan adanya dua faktor, yaitu faktor perkembangan yang berhubungan
dengan masa perkembangan psikis yang dilalui seseorang; dan faktor lingkungan
yang merupakan faktor luar yang mempengaruhi kehidupan agamanya yakni keluarga,
sekolah, masayarakat dan latarbelakang keagamaannya. Selain itu, Azra menyatakan
bahwa faktor-faktor yang menimbulkan riligiusitas pada remaja adalah; 1) Faktor
sosial, 2) Alami, 3) Kebutuhan dan 4) Faktor intelektual.[48]
Menurut Jalaluddin ikatan yang bersumber dari agama dapat pula berfungsi
sebagai kontrol terhadap perilaku individu. Ajaran-ajaran dari agama dapat
meresap ke dalam hati sanubari dan akan memberikan pengalaman terhadap individu
tersebut.[49] Ajaran
agama Islam menghendaki supaya hati manusia senantiasa berhubungan dengan
Tuhan, tidak lalai daripada-Nya. Selalu memperhatikan keadaan dirinya dan
keinginannya. Maksud agama Islam melengkapkan ibadah dalam kehidupan adalah
supaya agama dan Iman menjadi jalan yang bersifat praktis untuk memperbaiki
kehidupan manusia. Menurut Clark pengalaman
merupakan suatu persepsi terhadap cosmos yang bersifat transendental dan yang
disertai oleh perasaan-perasaan tertentu yang berakibat pada perubahan
nilai-nilai perilaku.[50]
Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai suatu rasa moral di dalam diri manusia
berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi emosional yang didasarkan atas fakta
bahwa pikiran manusia pada dirinya sendiri dalam mengatur keharmonisan dirinya
dengan tatanan kosmik.[51]
Pada
saat remaja, pelajar memiliki kecenderungan kekerasan yang sangat tinggi,
karena pada saat itu remaja memiliki goncangan atau gejolak emosi yang tidak
dapat dibendung, sehingga, sedikit saja teman sebaya atau orang lain melakukan
kesalahan, maka remaja meresponnya dengan ucapan yang kotor atau adu fisik. perilaku
kekerasan tidak terlepas dari dua hal yaitu diri pribadi remaja dan
lingkungannya, atau kedua-duanya dapat mempengaruhi remaja untuk melakukan
kekerasan. Pola asuh dan dukungan orangtua sangat diharapkan dalam mengurangi
tindakan kekerasan pada remaja, sebab di perkirakan pola asuh otoriter orangtua
akan mempengaruhi pola tingkah laku anak. Semakin tinggi tingkat pola asuh
otoriter orangtua pada anak, maka anakpun semakin tinggi untuk melakukan
kekerasan walau pelampiasannya tidak pada orangtuannya akan tetapi pelampiasannya
adalah orang lain yang tidak berdaya dan mereka anggap hal tersebut adalah
peluang untuk melakukan pelampiasan atau balas dendam.
Berdasarkan
landasan teori di atas, maka diajukan hipotesis; mengenai ada hubungan
antara pola asuh otoriter dan religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan
remaja Lombok Tengah, Ada hubungan
positif antara pola asuh otoriter dengan persepsi terhadap kekerasan, semakin
tinggi pola asuh otoriter maka semakin tinggi persepsi terhadap kekerasan,
sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter maka semakin menurun persepsi
terhadap kekerasan, Ada hubungan negatif antara religiusitas dengan persepsi
terhadap kekerasan, semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah persepsi
terhadap kekerasan, sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi
persepsi terhadap kekerasan.
Metode
Defenisi
Operasional Variabel Penelitian
Persepsi terhadap kekerasan dapat dimaknai sebagai suatu penilaian
yang buruk yang dapat merugikan orang lain dan diri sendiri. Adapun tindakan
kekerasan yang dilakukan remaja dapat berupa kekerasan fisik dan verbal. Adapun
kekerasan fisik meliputi; kekerasan fisik aktif langsung, kekerasan fisik aktif
tidak langsung, kekerasan fisik pasif langsung dan kekerasan fisik pasif tidak
langsung, sedangkan kekerasan verbal meliputi; kekerasan verbal aktif langsung,
kekerasan verbal aktif tidak langsung, kekerasan verbal pasif langsung dan
kekerasan verbal pasif tidak langsung.
Pola asuh otoriter merupakan pengasuhan orangtua dengan
aspek-aspek sebagai berikut; 1) Mendikte, 2) Mengontrol remaja dengan ketat dan
kaku, 3) Menuntut kepatuhan, 4) Tidak hangat dan 5) Tidak menunjukan
sikap empatik mereka terhadap anak. Pola asuh otoriter di ungkap dengan
menggunakan skala pola asuh otoriter yang disebutkan oleh Baumrind (Berkowitz,)
yakni proses penilaian pola perilaku remaja yang cenderung bersifat negatif.[52]
Religiusitas diartikan sebagai keyakinan dan kepercayaan terhadap
Tuhan yang Maha Esa. Keyakinan individu tecermin dalam ketaatan dalam
melaksanakan ibadah yang di perintahkan dan menjauhi segala bentuk
larangang-Nya. Adapun aspek religiusitas yang membentuk umat dalam melaksanakan
ibadah adalah a) Religious beliefs,
b) Religious practice, c) Religious feeling, d) Religious knowledge, dan e) Religious effect.
Subjek Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di Sekolah Pertama Negeri (SMPN1) Janapria. Adapun
karakteristik subjek penelitian sebagai berikut; 1) Siswa-siswi SMP Negeri 1
Janapria yang duduk di kelas dua. 2). Remaja awal berusia 13-14 tahun.
3) Suku Sasak.
Pengukuran
Penelitian
ini menggunakan metode angket. Suryabrata mendefinisikan angket sebagai metode
penelitian yang menggunakan daftar pernyataan yang harus dijawab atau daftar
isian yang harus diisi oleh sejumlah subjek dan berdasarkan atas jawaban atau
isian tersebut, peneliti mengambil kesimpulan mengenai subjek yang diteliti.[53] Penelitian ini akan menggunakan tiga macam
skala, yaitu 1). Skala persepsi remaja terhadap kekerasan, 2) Skala pola asuh otoriter
dan, 3) Skala religiusitas. Sebelum digunakan untuk pengambilan data
penelitian, ketiga alat ukur ini akan diujicobakan lebih dahulu untuk
mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Model skala butir untuk ketiga skala
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan skala Likert dengan
melakukan modifikasi terhadap pilihan jawaban menjadi skala empat tingkat:
sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS).
Dalam penelitian Azwar, validitas
ukur dipenuhi dengan validitas isi. Sebagaimana namanya, validitas isi
merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap isi instrument
pengukuran dengan analisis rasional yang dilakukan oleh orang profesional di
bidangnya. Validitas isi telah terpenuhi
dengan melihat apakah butir (pernyataan) dalam alat ukur telah sesuai dengan blue print dan memeriksa apakah
masing-masing butir telah sesuai dengan indikator perilaku yang hendak diukur.[54] Perhitungan
validitas butir skala alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan teknik kriteria intern yaitu mencari koefisien korelasi
antar masing-masing butir dengan skor totalnya, untuk menetapkan alat ukur yang
diujicobakan memenuhi syarat atau tidak, biasanya 0,25. Uji validitas ini
menggunakan program SPSS versi 16.0 for windows.
Hasil dan Diskusi
Uji asumsi normalitas
sebaran dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh bervariasi atau
tersebar secara normal. Ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah syarat representativeness
sampel terpenuhi atau tidak, sehingga penelitian dapat digeneralisasikan
terhadap populasi. Uji asumsi normalitas ini menggunakan teknik statistik non
parametrik One-Sample Tes dari Kolmogrov-Smirnov. Kaidah yang digunakan
adalah jika p > 0.05 maka sebarannya normal, sebaliknya jika p <
0.05 maka sebarannya tidak normal.[55]
Hasil uji normalitas sebaran masing-masing variabel adalah:
Hasil uji asumsi
normalitas sebaran terhadap variabel persepsi terhadap kekerasan menghasilkan
nilai Z sebesar 0,553 dengan p = 0.919 (p>0.05). Hasil uji berdasarkan
kaidah menunjukkan sebaran butir-butir skala persepsi terhadap kekerasan adalah
normal, hasil uji asumsi normalitas sebaran terhadap variabel pola asuh
otoriter menghasilkan nilai Z sebesar 1.324 dengan p = 0,06 (p>0.05). Hasil
uji berdasarkan kaidah menunjukkan sebaran butir-butir skala pola asuh otoriter
adalah normal, hasil uji asumsi normalitas sebaran terhadap variabel religiusitas
menghasilkan nilai Z sebesar 0,765 dengan p = 0,602 (p>0.05). Hasil uji
berdasarkan kaidah menunjukkan sebaran butir-butir skala religiusitas adalah
normal.
Menurut Santoro uji linieritas
hubungan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bentuk hubungan antara
variabel bebas dengan variabel tergantung, dan Uji linieritas hubungan ini
menggunakan pendekatan Analisis varian. Kaidah uji yang digunakan adalah jika deviation
from linierity berada pada taraf signifikansi atau p> 0.05 atau jika linieritynya
memiliki p < 0.05 maka hubungannya dinyatakan linier.[56]
Hasil uji linieritas sebagai berikut:
Hasil uji asumsi
linieritas antara variabel persepsi terhadap kekerasan dengan pola asuh
otoriter mempunyai nilai linearity F sebesar 0.893, nilai deviation from
linearity atau (p) 0.592,
dengan taraf signifikan p > 0.05. Ini berarti bahwa hubungan antara
persepsi terhadap kekerasan dengan pola asuh otoriter tersebut adalah
linier.Hasil uji asumsi linieritas antara variabel persepsi terhadap kekerasan dengan
religiusitas mempunyai nilai linearity F sebesar 1.153 deviation from
linearity atau (p) 0.331
dengan taraf signifikan p > 0.05. Ini berarti bahwa hubungan antara persepsi
terhadap kekerasan dengan religiusitas tersebut adalah linier.
Hipotesis pertama “Ada
hubungan antara pola asuh otoriter dan religiusitas terhadap persepsi terhadap
kekerasan”. Berdasarkan hasil pengujian regresi ganda diatas variabel- variabel
bebas yaitu pola asuh otoriter dan religiusitas dengan persepsi terhadap
kekerasan secara bersama-sama didapatkan hasil sebagai berikut.
Pola asuh otoriter dan
religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan memiliki hubungan yang sangat
signifikan dengan F 12,992, R 0,468, R2 0,219 dan p = 0.000. Hal
tersebut bermakna bahwa hipotesis mayor dalam penelitian ini “diterima”.
Sumbangan efektif yang diberikan oleh variabel pola asuh otoriter dan
religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan sebesar 21,9% (R2=0,219).
Hipotesis kedua berbunyi “Ada
hubungan positif antara pola asuh otoriter dengan persepsi terhadap kekerasan,
semakin tinggi pola asuh otoriter maka semakin tinggi persepsi terhadap
kekerasan, sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter maka semakin menurun
persepsi terhadap kekerasan”. Metode analisis data yang digunakan adalah
analisis regresi. Hasilnya didapatkan sebagai berikut:
Pola asuh otoriter
mendukung dengan persepsi terhadap kekerasan dengan beta 0,315 t 3,417, dan p 0.001 taraf signifikansi p
< 0.01 (sangat signifikan), hal ini berarti semakin tinggi pola asuh
otoriter orangtua maka akan semakin tinggi persepsi remaja terhadap kekerasan,
dan semakin rendah pola asuh otoriter orangtua maka akan semakin rendah
persepsi terhadap kekerasan. Hasil ini” diterima. Adapun sumbangan
efektif pola asuh dengan persepsi terhadap kekerasan sebesar 9,54%.
Hipotesis ketiga berbunyi “Ada hubungan negatif antara
religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan, semakin tinggi religiusitas
maka semakin rendah persepsi terhadap kekerasan, sebaliknya semakin rendah
religiusitas maka semakin tinggi persepsi terhadap kekerasan”. Metode analisis
data yang digunakan adalah analisis regresi. Hasilnya didapatkan sebagai
berikut:
Religiusitas dapat mendukung dengan persepsi terhadap kekerasan dengan
beta -0,357, t -3,875, dan p 0.000 taraf signifikansi p < 0.01 (sangat
signifikan), hal ini berarti bahwa ada
hubungan negatif antara religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan,
semakin tinggi tingkat religiusitas remaja maka semakin rendah persepsi
terhadap kekerasan, sebaliknya semakin rendah tingkat religiusitas remaja maka
semakin tinggi persepsi terhadap kekerasan pada remaja. Hasil ini” diterima
Adapun
sumbangan efektif dari variabel religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan
adalah sebesar 12,38%.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis
dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter dapat memberikan
pengaruh yang sangat signifikan dengan sumbangan efektif sebesar 9, 54%
terhadap persepsi terhadap kekerasan, sedangkan variabel religiusitas dapat
memberikan pengaruh yang sangat signifikan pula dengan sumbangan efektif
sebesar 12,38 %, dalam hal ini pola asuh otoriter memiliki korelasi positif
dengan persepsi terhadap kekerasan sedangkan religiusitas memiliki korelasi
negatif dengan persepsi terhadap kekerasan.
Saran
Dengan diperolehnya hasil
bahwa persepsi terhadap kekerasan pada tingkat religiusitas rendah maka
diharapkan kepada orangtua untuk senantiasa mengajarkan dan menerapkan kepada
anak-anak mereka dari sejak kecil untuk menanamkan ajaran agama dan membiasakan
anak mereka untuk berakhlak mulia sesuai dengan norma-norma atau peraturan-peraturan
yang berlaku di dalam lingkungan masyarakat sekitar.
Orangtua diharapkan untuk
tidak menerapkan pola asuh otoriter terhadap anak-anak mereka, karena dari
hasil diatas menunjukan bahwa pola asuh otoriter orangtau dapat memberikan
dampak positif terhadap persepsi terhadap kekerasan anak yang diasuh dengan
kekerasan maka, persepsi anak terhadap kekerasan meningkat, sedangkan anak yang
diasuh dengan penanaman nilai-nilai moral yang baik maka anak akan menunjukan
sikap yang baik pula.
Saran untuk peneliti
selanjutnya adalah diharapkan dapat melihat lebih jauh lagi
permasalahan-permasalahan yang terjadi dilapangan sehingga hasil dari
penelitian yang diharapkan dapat memenuhi peristiwa yang menjadi titik
permasalahan yaitu persepsi terhadap kekerasan yang ditimbulkan oleh ola asuh
otoriter orangtua kemudian mencermati sisi religiusitas remaja itu
sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Algeri, S. & Souza, L.M.D.,
(2006). Violence against children and
adolescents: A challenge in the daily work of the nursing team, Violence against children. Rev Latino-am Enfermagem 2006 julho-agosto;
14(4):625
Atkinson, R, Atkinson, R&Hilgard E.,
(1991). Pengantar psikologi, Jakarta: Erlan
Amjad, M.,
& Skinner, N., (2008). Normative beliefs about aggression and retaliation:
association with aggressive behaviour and anticipatory self-censure. Journal of behavioural sciences vol. 18
Number 1-2 2008
Azra, A,.(2000). Pendidikan
Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Depag RI
Azwar, S., (2001).
Metode Penelitian,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____, S., (2008).
Validitas dan Reliabelitas,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badrun, A., (2007). Motif
perkelahian antar warga desa Petemon dan desa Karang Genteng (Studi Kasus
Lombok Barat)
Berkowitz, L.,(1993). Aggression: Its
causes, consequences, and control. New York: McGraw-Hill.
Berkowitz, L.,(2003). Emotional behavior: Mengenali perilaku dan tindak kekerasan di lingkungan sekitar kita dan cara
penanggualanagnnya, Jakarta CV.Taruna Grafica.
Brad, J. B.,& Craig,
A. A., (1998). Methodology in the study of aggression: integrating experiment
and no experimental findings. In Geen, R. G. & Edward, D. (Ed.), Human
aggression: Theories, research, and implications for social policy. New
York: Academic Press.
Bridges, L.J., & Moore, K.A.,
(2002). Religion and spirituality in childhood and adolescence. Trends
child.
Bornstein, L & Bornstein,
M. H., (2007). Parenting
styles and child
social
development, encyclopedia on
early childhood development.
Daradjat, Z., (2000). Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta. Bumi Aksara
Darling, N., (1999). Parenting
style and its corelates, http://www.Eric –Digest.
Davidoff, L.L.,(1991). Psikologi suatu pengantar, terjrmahan,
Jakarta, Airlangga
Dennis, D, Daniel. F, Day.E,
Friedman. S & Creeden. R, Gartland.H & Mcdavid. L,Tame. C, Matthew J.
Mctaggart., (2003). Identifyng & responding to the mental health service
needs of children who have experienced violence : A community based approach, clinical
child psychlogy And psychiatry
Ekowarni, E., (2005). Psikologi perkembangan anak, materi kuliah
S2, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, tidak diterbitkan
Funk,
J.B., Hagan,J., Schimming,J., (2002).
Aggression and psychopathology in adolescents with a preference for
violent electronic games, aggressive
behavior. DOI
10.1002/ab.90015
Gunarsa, S.D.,
(2007). Psikologi perkembangan,
Jakarta: Gunung Mulia
Gudlaugsdottir, G.R.
Vilhjalmsson, Kristjansdottir, Jacobsen, & Meyrowitsch, (2004). Violent behaviour among adolescents in Iceland: a
national survey: International Journal of Epidemiology.
Helmi,
A.F., dan Soedardjo. (1998). Beberapa perspektif perilaku agresif. Buletin
Psikologi.
Hidayat, K. (1998). masyarakat, agama dan agenda penegakan
masyarakat madani. makalah, seminar Nasional, Universitas Muhamadyah
Malang.
http://www.lomboknet.com/index.php/remaja-tewas-tertusuk-akibat-tawuran-antar-geng,
29 Januari, 2010.
Hurlock, E.B., (1999). (Terjemahan meitasari
tjandra & muslichah
zarkasih)
Perkembangan anak,
Jakarta : Erlangga.
Hotton, T., (2003). Childhood
aggression and exposure to
violence in the home, Crime and Justice
research paper series.
Jalaluddin, H., (1996). Psikologi
agama, Jakarta, Raja Grafindo Utama
______, H., (2001). Teologi
Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Utama
Lindzey, G. & Aronson, (1975). The handbook of social psychology, New Delhi:
Adison-Westey Publish Company.
Liputan6. Edisi 5
Januari 2010, SCTV
Mahmud, H. R.,(2004). Hubungan
antara gaya pengasuhan orangtua dengan tingkah laku prososial anak. Jurnal
Psikodinamika.
Masrun, Adisubroto, D., Martono, Martani, Wimbarti, S., Rasimin,
Meiyanto, S., Subandi, Himam, F., (1987/1988). Studi pendalaman indikator, tolak ukur, dan instrumen kualitas Non
Fisik tahap pertama. Laporan penelitian. Kantor Menteri KLH-UGM
Mussen, P. H., Conger, J. J., Kagan, J., dan Huston, C. A. (1994). Perkembangan
dan
kepribadian anak (Alih bahasa F. X. Budiyono, Widianto,
Gianto)
Jakarta:
Penerbit Arcan
Myers, D.G., (2002). Psychology
social, International Edition, New York: McGrow Hill
Ramirez,
J.M., (2001). Justification of aggression in several asian and european
countries with different religious and cultural background. International journal of
behavioral development.
Santrock, J. W.,(1993). Life-span
development, New York. McGraw-Hill College.
Shihab,M.Q., (1993). Membumikan
Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Santoso, S., (2004). Buku
Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta : Penerbit PT Elek Media
Komputindo
Shaleh, A.R., (2005). Psikologi suatu pengantar dalam perspektif Islam,
Jakarta, Kencana
Singarimbun, M.A.&Efendi,S. (1998). Metode penelitian survey. Jakarta:
LP3ES.
Subandi, (1988). Hubungan antara tingkat religiusitas dengan
kecerdasan pada remaja. Laporan penelitian. Yogyakarta: fakultas psikologi
UGM.
Suryabrata, S., (1990). Pengembangan tes
hasil belajar. Jakarta:
Rajawali Press
Patnani, M., Ekowarni. E & Bhinety,M (2002). Kekerasan fisik
terhadap anak dan
strategi coping yang dikembangkan Anak. Indigenous,
Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi.
[1]
Santrock, Life Span Development, New York, Mc.Grow Hill College (1993)
[2] Harlock,
Perkembangan Anak (Terjemahan
Meistasari) Jakarta, Airlangga (1999).
[3]
Ekowarni, Jurnal Psikologi Perkembangan Anak, Materi Kuliah S2 Fakultas
Psikologi UGM
[4]
Berkowitz,L. Aggression, Its causes,
consequences, and control, New York, McGraw-Hill (1993).
[5] Brad & Craig, Methodology in the study of aggression,:
Integrating experiment and no experiental finding, New York, Academic Press
(1998)
[6]Hotton, Childhood aggression and exposure to violence in the home, Crime
and justice research paper series (2003)
[7] Amjad & Skinner, Normative beliefs about aggression and retaliation. Journals of
behavioral science vol 18 number 1-2 2008
[8] Dennis,
dkk, Identifyng & responding to the
mental health service needs of children who have experienced violence :
Community based approach clinical child psychology and psychiatry, 2003
[9]
Lomboknet.com, Januari, 2009
[10] Liputan6.
Edisi 5 Januari 2010, SCTV
[11]H.
Sahabuddin, 15 Februari, 2010
[12] Mahmud,
Hubungan antara gaya pengasuhan orangtua
dengan tingkah laku prososial anak: Jurnal psikodinamika.
[13] Badrun,
Motif
perkelahian antara warga desa yang bertetangga (studi kasus 2007)
[14] Ibid
[15] Daradjat,
Ilmu pendidikan islam, Jakarta, Bumi
Aksara (2000)
[16]
Subandi, Hubungan antara tingkat
religiusitas dengan kecerdasan pada remaja. Laporan penelitian, Fakultas
Psikologi UGM (1988)
[17] Singarimbun
& Efendi, Metode penelitian survey,
Jakarta LP3ES (1998)
[18] Sihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan (1993)
[19] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Gudlaugsdottir,
dkk, violence behavior among adolescent
in Iceland , Journal (2004)
[24]
Ramirez, Justification of aggression in
several asian and european countries with different religious and culture
background. International journal of behavior development, (2001)
[25] Funk,
dkk., Aggression and psycopatology in
adolencent with a prefarance for violence electronic, Journal aggression for behavior ( 2002)
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Myers, Psycology social, International edition,
New York: McGrow Hill (2002).
[29] Ibid.
[30] Davidoff, Psikologi
suatu pengantar, terjemahan, Airlangga (1991)
[31] Atkinson
dkk, Pengantar psikologi, Jakarta,
Airlangga (1991)
[32]
Gunarsa, Psikologi perkembangan,
Jakarta, Gunung mulia (2007)
[33] Ibid.
[34] Jalaluddin
, Psikologi agama, Jakarta, Raja
Grafindo Utama (1996
[35] Ibid.
[36] Darling,
Parenting style and its correlation http://www.Eric-Digest(1999).
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Bornstein
& Bronstein, Parenting styles and
child social development. Encyclopedia on early childhood development(2007)
[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42] Mussen,
Perkembangan dan kepribadian anak,
(Alih bahasa Budiyono,dkk, 1994)
[43] Ibid.
[44] Hidayat, Masyarakat,
agama dan agenda penegakan masyarakat UNM (1998)
[45] Ibid.
[46] Ibid.
[47] Lindzey
& Aronson, The Handbook of social
psychology, New Delhi(1975).
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Azra, Pendidikan agama islam pada perguruan tinggi,
Jakarta, Depag RI (2000)
[51] Shaleh,
Psikologi
suatu pengantar dalam perspektif islam, Jakarta, Kencana (2005)
[52] Ibid.
[53]
Suryabrata, Pengembangan tes hasil
belajar, Jakarta, 1990.
[54] Azwar, Metode penelitian, Yogyakarta, 2001.
[55] Santoso,
2004, Buku latihan SPSS Statistik parametric, Jakarta, 2004.
[56] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar