Jumat, 28 Desember 2012

artikel tentang kekerasansukar



Pengantar
Sukarman, MA
Masa remaja atau masa adolesence merupakan masa yang menarik untuk diungkap dari kehidupan manusia, karena pada masa tersebut remaja awal sedang mengalami proses perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.[1] Pada masa ini remaja mendapatkan tugas-tugas baru (developmental tasks) yang harus diselesaikan, sebelum remaja melangkah ke tahap perkembangan berikutnya. Masa tersebut merupakan masa kritis, yaitu munculnya berbagai masalah yang berasal dari faktor internal dari dalam diri remaja maupun faktor eksternal lingkungan sekitar.[2] Bila penanganan terhadap remaja tidak tepat dapat menimbulkan perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu.[3]
   Perilaku menyimpang, dapat ditunjukan dengan adanya tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan remaja. Kekerasan merupakan bentuk-bentuk perilaku yang bertujuan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental. Artinya, kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk menghalang-halagi atau menghambat orang lain dalam melakukan kegiatan tertentu.[4] Bentuk tindakan kekerasan dapat berupa pemukulan, penghasutan, pelemparan, pengrusakan banda atau barang. Kekerasan dalam bentuk verbal dapat berupa menfitnah, mencaci-maki melontarkan kata-kata kotor, dan memanggil orang lain dengan sebutan binatang.
Kekerasan seringkali disebabkan oleh kondisi emosi yang cepat meledak dan sulit untuk dikendalikan. Hal tersebut menimbulkan kemarahan yang tidak terbendung. Bentuk manipulasi dan kesalahan sedikitpun akan direspon dengan bentuk kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung, baik kekerasan dalam bentuk penganiayaan fisik, verbal maupun non verbal.[5] Kekerasan muncul karena adanya tekanan psikologis. Selain itu, remaja yang tinggal dalam lingkungan yang negatif juga dapat mengakibatkan munculnya tindakan kekeras. [6]
Data statistik Brazilian National council for child and adolescent rights [CONANDA dalam Algeri & Souza, 2006) menyebutkan bahwa sekitar enam setengah juta atau 67% anak remaja mengalami kekerasan verbal setiap tahunnya dan kekerasan dalam bentuk fisik yaitu pemukulan, penganiayaan yang mengakibatkan luka serius terdapat sekitar delapan belas juta atau 85 % setiap tahun.
Hal tersebut dibuktikan di beberapa Negara seperti Norwegia dan Spanyol bentuk kekerasan yang sering dilakukan oleh remaja adalah kekerasan verbal, seperti menghina, mengeluarkan kata-kata kotor dan menghujat kelompok lain. Pada tahun 2006, kekerasan dalam bentuk menghina orang lain sebanyak 30 %, sedangkan mengeluarkan kata-kata kotor dan menghujat sebanyak 38,1%. Pada tahun 2007 tingkat kekerasan semakin meningkat, disamping menghina dan mengeluarkan kata-kata kotor remaja juga sudah mulai melakukan aksi kekerasan dalam bentuk fisik, seperti menendang sebanyak 15,1 %, dan perilaku mendorong teman sebanyak 10,5% terjadi pada remaja pria.[7]
Banyak penelitian menunjukan remaja yang mengalami tindakan kekerasan fisik akan mengembangkan perilaku agresif diantaranya tindakan kriminal, kejahatan dan masalah-masalah kesehatan mental pada saat dewasa nanti (Patnani dkk, 2002); anak-anak dan remaja yang mengalami kekerasan, berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental seperti post traumatic syndrome (PTSD), penilaian terhadap masalah yang keliru, gangguan perilaku dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hal tersebut menyebabkan anak mengalami trauma, merasa menjadi korban, merasa tak berdaya, serta munculnya kemarahan yang luar biasa. Kekerasan dapat mengakibatkan kerentanan mengalami gangguan kemampuan sosial, emosi dan kognitif selama hidupnya serta perilaku kesehatan berisiko.[8]
Bentuk kekerasan yang terjadi meliputi tawuran, perkelahian, penganiayaan, penodongan benda-benda tajam yang menjurus pada perilaku menghilangkan nyawa orang lain. Contoh, sejumlah fakta menyebutkan bahwa siswa senior di SMA memaksa puluhan siswa untuk berkelahi dengan siswa junior disebabkan karena siswa junior memarkirkan sepeda motor ditempat siswa senior. Akibat  dari perkelahian tersebut dari 68 siswa senior 34 orang mengalami luka-luka.[9] Di sekolah lain, dikeroyok oleh teman seniornya hanya karena hal sepele, akibatnya yang bersangkutan mengalami bengkak di bagian kepala dan pinggul. Selain itu, tujuh pemuda tega membakar temannya di sebuah permainan playstation, disebabkan karena si korban memanggil temannya dengan kata-kata kotor, sehingga temannya tersebut tidak menerima ejekan, dan temannya tersebut mengajak teman-teman yang lain untuk melakukan penganiayaan dengan menyiram minyak tanah di sekucur badan si korban, peristiwa tersebut terjadi di Serdang sumatera utara.[10]
Kekerasan yang terjadi di wilayah Lombok Tengah seringkali terjadi pada anak-anak terutama usia remaja, di antaranya perkelahian antar pelajar, dan perang antara tetangga desa. Contoh kasus yang terjadi, seperti tawuran remaja antara dua desa yang tidak pernah selesai, walaupun di daerah tersebut telah dibangun posko keamanan warga. Kasus lain, pada bulan Ramadhan yang seharusnya sesama warga menahan diri terhadap perkelahian, namun 6 orang meninggal dan puluhan orang lainnya mengalami luka-luka. Tawuran terjadi disebabkan karena remaja desa yang satunya mengeluarkan kata-kata kotor terhadap remaja desa sebelahnya. Kelompok remaja tersebut tidak menerima penghinaan kemudian mereka melakukan penyerangan secara membabi-buta, dan peristiwa tersebut terjadi pada malam takbiran sehingga warga desa yang sedang merayakan malam takbiran merasa terganggu.[11]
Di samping pengamanan polisi, peristiwa kekerasan perlu melibatkan peran orangtua, orangtua adalah pihak yang terdekat dan bertanggung jawab atas kehidupan anak-anak mereka. Keluarga (orangtua) merupakan bentuk komunitas masyarakat terkecil yang terdiri dari beberapa orang berdasarkan ikatan perkawinan atau ikatan darah yang membentuk suatu rumah tangga yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain.[12] Keluarga diharapkan dapat memberikan landasan bagi perkembangan remaja, karena di dalam keluarga remaja dapat belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial. Sosialisasi adalah proses yang digunakan remaja untuk memperoleh nilai sosial, kepercayaan dan standar perilaku yang diharapkan.
Pola asuh orangtua di Lombok cenderung kaku, kurang komunikatif, dan selalu memberi ancaman bila anak tidak mematuhi perintah orangtua.[13] Orangtua yang otoriter menetapkan dengan tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berdiskusi, menuntut kepatuhan dan konformitas yang tinggi. Hurlock pola asuh otoriter yang diterapkan dalam keluarga, atau orangtua menganggap bahwa tindakan tersebut merupakan hal biasa dilakukan dalam rumah, akan tetapi dapat dilihat bahwa remaja Lombok yang diberlakukan keras dalam rumah merasa tidak nyaman dan cenderung untuk mencari teman sebaya.[14]
Peran orangtua bagi perkembangan remaja adalah memberikan pengertian dan pemenuhan remaja sesuai dengan tahap perkembangannya. Timbulnya berbagai macam permasalahan kekerasan pada remaja dapat disebabkan karena pemberian pola asuh orangtua yang otoriter. Pola asuh tersebut menuntut remaja untuk mengikuti dan mematuhi semua kehendak dan keinginan orangtua, sehingga mengakibatkan remaja cenderung melakukan kekerasan di luar lingkungan keluarga atau dilingkungan teman sebaya yang dianggap lemah.
Selain itu, orangtua yang lalai dalam pemberian nilai-nilai serta moral keagamaan akan memberi dampak negatif dalam perkembangan pergaulan anak dengan lingkungan sosial. Fungsi agama merupakan sangat penting dalam pembentukan moral dan perilaku anak. Remaja yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi akan memberikan dampak yang positif sedangkan remaja yang memiliki religiusitas yang rendah sangat rentan terhadap perilaku kekerasan terhadap teman sebaya disebabkan karena kontrol agama yang tidak tepat.[15] Sedangkan dalam pendapat yang lain menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat suatu instink atau naluri yang disebut religious instink, yaitu naluri untuk mengadakan peyembahan terhadap kekuatan yang di luar diri, hal ini dapat dikaitkan dengan kepercayaan-kepercayaan dan upacara-upacara ritual baik zaman dahulu maupun sekarang.[16]
Glock dan Stark melihat konsep religiusitas sebagai komitmen religi individu yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan terhadap agama atau kepercayaan yang dianutnya.[17] Sedangkan pendapat lain menyebutkan bahwa agama adalah hubungan antara mahluk dengan Kholik (Tuhan) yang berwujud ibadah yang dilakukan dalam sikap keseharian.[18] Bertolak dari definisi religiusitas, maka segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan adalah tidak terlepas dari tingkat religiusitas seseorang terhadap Tuhan yang Maha Kuasa. Menurut Daradjat individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi, secara otomatis akan dapat mengontrol perilaku individu dalam bertindak.[19] Dalam menekan tingkat kekerasan yang terjadi pada remaja, tindakan yang seharusnya dilakukan adalah memberikan pengarahan kepada setiap orangtua tentang akibat dari pola asuh otoriter terhadap perkembangan remaja.
Melaksanakan kegiatan keagamaan atau ibadah sangat penting bagi individu .Adapun bentuk pengajaran yang dilakukan adalah memperkenalkan anak pada ciptaan tuhan, kemudian menyuruh anak untuk mencintai Tuhan dan ciptaan-Nya, termasuk saling mencintai antar sesama manusia dengan saling memberi kasih sayang dan berempati.[20] Menurut Bridges & Moore bentuk pengajaran yang dilakukan adalah mengenal tuhannya. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil survai yang dilakukan oleh lembaga University of Michigan. Sekitar 60 % remaja yang mengikuti ritual kegiatan keagamaan secara terus menerus memandang bahwa saling memberi kasih sayang adalah bentuk dari keindahan yang dapat mengontrol individu dalam melakukan kebaikan dan berempati terhadap orang lain.[21]
Dari penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara persepsi terhadap kekerasan ditinjau dari pola asuh otoriter dan religiusitas pada remaja Lombok Tengah.
Pembahasan
Menurut Algeri & Souza persepsi terhadap kekerasan adalah bentuk penilaian orang terhadap ancaman yang dapat mengganggu kehidupan orang lain.[22] Adapun penilaian terhadap ancaman yang paling besar dalam melakukan tindakan kekerasan adalah timbulnya kekerasan fisik, verbal, dan bentuk-bentuk tindakan kekerasan yang secara langsung mengakibatkan luka-luka dan kematian. Kekerasan dapat diartikan sebagai bentuk penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang bertujuan kearah tindakan kriminal.[23] Kekerasan juga diartikan sebagai kategori masalah terbesar yang dialami oleh individu, hal tersebut akan mempengaruhi kepribadian yang ada di dalam diri dan dalam hubungan individu dengan sosial masyarakat menjadi terganggu.[24]
Kekerasan mengandung resiko dan kerugian bagi orang lain maupun pelaku kekerasan itu sendiri. Kekerasan dapat terjadi dalam lingkup yang luas baik dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat. Perilaku kekerasan remaja menjadi isu yang serius, seperti tawuran siswa, perselisihan antar pribadi, pelecehan terhadap guru maupun orangtua siswa yang dapat mengakibatkan luka fisik bahkan kematian. Kekerasan muncul dari sikap bermusuhan, benci, berdebat, mencela, kritis, menghinakan, sinis, sadis, cemburu, iri hati, dan menipu orang lain. Perilaku kekerasan seperti ini sama-sekali tidak memberikan solusi yang tepat, bahkan akan menimbulkan sebuah pertikaian atau kekerasan yang berdampak pada adanya niat untuk menghilangkan nyawa orang lain[25]
Menurut Ramirez setiap manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan, namun manifestasi dari tindakan kekerasan tersebut akan berbeda pada individu yang satu dengan lainnya. Aspek kekerasan dibedakan dua macam yaitu kekerasan instrumental (Instrumental Agression) dan kekerasan dalam motif benci (Hostile Agression) atau disebut juga kekerasan impulsif.[26] Adapun kekerasan instrumental adalah kekerasan yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai cara untuk mencapai tujuan, sedangkan kekerasan yang ditunjukan dengan sikap benci adalah kekerasan semata-mata sebagai pelepasan keinginan untuk melukai atau menyakiti atau kekerasan tanpa tujuan, selain menimbulkan efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau korban.
Ramirez juga mengemukakan ada delapan klasifikasi bentuk kekerasan yaitu; 1) Kekerasan fisik secara langsun, 2) Kekerasan fisik secara tidak langsung, 3) Kekerasan fisik pasif secara langsung, 4) Kekerasan fisik pasif secara tidak langsung, 5) Kekerasan verbal secara langsung, 6) Kekerasan verbal aktif secara tidak langsung, 7) Kekerasan verbal pasif secara langsung, 8) Kekerasan verbal pasif secara tidak langsung. Menurut Helmi dan Soedarjo (1998) ada tiga kelompok perspketif yang menjelaskan penyebab tindakan kekerasan yaitu tindakan yang disebabkan faktor internal, kebiasaan yang dipelajari, dan situasi yang memicu kekerasan.[27]
Menurut Myers ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan sebagai berikut; a) Kondisi Aversif merupakan suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang ingin dihindari oleh seseorang individu atau kelompok. [28]Menurut Barkowitz keadaan yang tidak menyenangkan akan membuat seseorang mencoba untuk membuat keseimbangan dengan cara berusaha menghilangkan atau mengurangi atau mengubah situasi lingkungan. Adapun situasi dan kondisi aversif tersebut meliputi; rasa sakit (pain), panas (hot), serangan (attacks), kondisi yang padat (crowding). b) Amarah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka sangat kuat, dan biasanya disebabkan oleh adanya kesalahan yang mungkin memang salah atau tidak.[29] Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, memukul, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal tersebut terjadi, maka rentan terjadi tindakan kekerasan [30]. c) Faktor biologis, ada tiga faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi, yaitu gen, sistem otak, dan kimia darah.  d) Lingkungan, Para peneliti menggunakan studi korelasi dan eksperimen untuk menguji pengaruh tayangan kekerasan. Semakin keras acara tayangan televisi yang ditonton anak-anak, akan menyebabkan tindakan kekerasan semakin meningkat. Penelitian yang dilakukan Steur dkk, Atkinson dkk, menunjukan bahwa anak-anak yang menonton film kartun yang berisi kekerasan maka rentan sekali untuk melakukan kekerasan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman-teman sebaya, sedangkan anak yang tidak menonton film kartun yang berisikan kekerasan tidak menunjukan perubahan perilaku kekerasan diri sendiri maupun dalam berinteraksi dengan orang lain.[31] d) Pola asuh otoriter, Pola asuh yang tidak tepat dapat memberi dampak negatif terhadap diri anak.[32] Menurut Santrock anak yang diasuh dengan sikap keras, sering memberi hukuman, mendekte dan membatasi pergaulan anak dan orangtua jarang memberi kasih sayang serta kehangatan dalam keluarga, hal tersebut merupakan ciri-ciri dari pola asuh otoriter.[33] Religiusitas merupakan sikap keagamaan, yaitu suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap ajaran agama.[34] Pendapat Jalaluddin tersebut lebih menekankan pada ketaatan seseorang terhadap ajaran agamanya, yang diwujudkan dalam tingkah laku. Menurut Bridges & Moore remaja yang diberikan bimbingan terhadap ajaran agama sejak lahir sampai dewasa, maka akan memberi dampak negatif terhadap tindakan kekerasan.[35]
Pola asuh adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa terhadap remaja yang membutuhkan bimbingan.[36] Menurut Gunarsa pola asuh merupakan gaya pendidikan orangtua terhadap anak atau perlakuan orangtua terhadap anak dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak untuk mematuhi norma-norma atau nilai-nilai dalam masyarakat. [37]Pola asuh orangtua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu.  Adapun Hurlock membagi pola asuh menjadi tiga tipe; a) Pola asuh otoriter, b) Pola asuh demokratis, dan c) Pola asuh permisif.[38]
Pola asuh otoriter adalah sikap atau cara mengasuh orangtua, yang ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dan memaksakan anak untuk bertingkah laku seperti yang diinginkan oleh orangtuanya. Pola asuh otoriter adalah salah satu pola asuh yang paling umum di seluruh dunia.[39] Menurut Baumrind dalam Santrock pola pengasuhan otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menghukum, yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orangtua dan menghormati pekerjaan dan usaha.[40]
Menurut Hurlock pola asuh otoriter ini meliputi aspek-aspek: yaitu (1) Peraturan, (2) Hukuman,(3) Hadiah,(4) Perhatian,dan (5) Tanggapan. Selain itu, Menurut Baumrind (Berkowitz, 1993) pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri aspek meliputi; orangtua suka mendikte dan mengontrol remaja dengan ketat dan kaku, selalu menuntut kepatuhan, hubungan orangtua dengan remaja tidak hangat, tidak mendorong remaja untuk mandiri dan menuntut remaja mempunyai tanggung jawab sebagaimana orang dewasa, menanamkan disiplin yang kaku, tidak ada kasih sayang dan simpatik terhadap remaja.[41]
Sedangkan Mussen, dkk. mengemukakan beberapa faktor di dalam pola asuh otoriter yaitu; 1) Kontrol: meliputi segala usaha orang tua untuk mempengaruhi aktivitas yang bertujuan (goal oriented activity) memodifikasi ekspresi dari rasa ketergantungan anak, meningkatkan internalisasi standar orangtua, 2) Tuntutan agar ditampilkan tingkah laku yang matang, meliputi tuntutan penekanan pada anak agar dapat menampilkan prestasi yang tinggi, kematangan sosial dan emosional yang tinggi pula. 3) Pola hubungan orang tua dan anak (clarity of parent-child communication): orang tua memberikan  penjelasan dalam membuat aturan-aturan bagi anak dan menanyakan kepada anak. 4) Pemeliharaan terhadap anak (parental nurturance) termasuk keterlibatan orang tua dalam pengasuhan anak menunjukkan rasa kasih sayang, kehangatan dan pengertian kepada anak.[42]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter adalah bagian dari sikap kekerasan yang ditujukan oleh orangtau terhadap anak-anak. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa pola asuh otoriter merupakan bagian dari pengasuhan yang tidak tepat dan menyimpang dari norma-norma dan melanggar hak seorang anak.
Thouless dalam pendapatnya Jalaluddin menyebutkan bahwa agama adalah sikap atau cara menyesuaikan diri terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukan pada lingkungan yang lebih luas dari lingkungan dunia fisik yang terikat ruang dan waktu.[43] Selain itu, agama merupakan suatu yang mengikat atau menuntun manusia untuk senantiasa beribadah kepada Tuhannya. Selain itu, juga religiusitas merupakan penghayatan keagamaan atau kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa dan membaca kitab suci. [44]
Menurut Bridges & Moore, Agama disebut juga sebagai iman atau kepercayaan yang menjadi aspek penting dalam suatu ajaran agama. Agama dianggap penting karena tingkat religiusitas seseorang dapat diukur dari aspek keimanan dan ketakwaan individu terhadap Tuhan masing-masing.[45] Menurut Jalaluddin mengemukakan bahwa konsep ajaran agama Islam harus dirujuk dari berbagai aspek, antara lain aspek keagamaan seperti kepercayaan (iman), kesejahteraan (Islam) dan aspek tanggung jawa seorang muslim untuk melakukan kebijakan terhadap orang lain di luar diri mereka (Ihsan).[46]
Glock & Stark  menyebutkan lima dimensi religiusitas, sebagai berikut; a) Religious beliefs, b) Religious practice, c) Religious feeling, d) Religious knowledge, d) Religious effect.[47] Sedangkan Studi yang dilakukan (Masrun dkk., 1987/1988) menyebutkan ada lima dimensi pengalaman ajaran Islam, yaitu; a) Dimensi Iman, b) Dimensi Islam, c) Dimensi Ikhsan, d) Dimensi Ilmu, dan e) Dimensi Amal.
Disamping itu, Daradjat mengemukakan adanya dua faktor, yaitu faktor perkembangan yang berhubungan dengan masa perkembangan psikis yang dilalui seseorang; dan faktor lingkungan yang merupakan faktor luar yang mempengaruhi kehidupan agamanya yakni keluarga, sekolah, masayarakat dan latarbelakang keagamaannya. Selain itu, Azra menyatakan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan riligiusitas pada remaja adalah; 1) Faktor sosial, 2) Alami, 3) Kebutuhan dan 4) Faktor intelektual.[48]
Menurut Jalaluddin ikatan yang bersumber dari agama dapat pula berfungsi sebagai kontrol terhadap perilaku individu. Ajaran-ajaran dari agama dapat meresap ke dalam hati sanubari dan akan memberikan pengalaman terhadap individu tersebut.[49] Ajaran agama Islam menghendaki supaya hati manusia senantiasa berhubungan dengan Tuhan, tidak lalai daripada-Nya. Selalu memperhatikan keadaan dirinya dan keinginannya. Maksud agama Islam melengkapkan ibadah dalam kehidupan adalah supaya agama dan Iman menjadi jalan yang bersifat praktis untuk memperbaiki kehidupan manusia. Menurut Clark  pengalaman merupakan suatu persepsi terhadap cosmos yang bersifat transendental dan yang disertai oleh perasaan-perasaan tertentu yang berakibat pada perubahan nilai-nilai perilaku.[50] Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai suatu rasa moral di dalam diri manusia berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi emosional yang didasarkan atas fakta bahwa pikiran manusia pada dirinya sendiri dalam mengatur keharmonisan dirinya dengan tatanan kosmik.[51]
Pada saat remaja, pelajar memiliki kecenderungan kekerasan yang sangat tinggi, karena pada saat itu remaja memiliki goncangan atau gejolak emosi yang tidak dapat dibendung, sehingga, sedikit saja teman sebaya atau orang lain melakukan kesalahan, maka remaja meresponnya dengan ucapan yang kotor atau adu fisik. perilaku kekerasan tidak terlepas dari dua hal yaitu diri pribadi remaja dan lingkungannya, atau kedua-duanya dapat mempengaruhi remaja untuk melakukan kekerasan. Pola asuh dan dukungan orangtua sangat diharapkan dalam mengurangi tindakan kekerasan pada remaja, sebab di perkirakan pola asuh otoriter orangtua akan mempengaruhi pola tingkah laku anak. Semakin tinggi tingkat pola asuh otoriter orangtua pada anak, maka anakpun semakin tinggi untuk melakukan kekerasan walau pelampiasannya tidak pada orangtuannya akan tetapi pelampiasannya adalah orang lain yang tidak berdaya dan mereka anggap hal tersebut adalah peluang untuk melakukan pelampiasan atau balas dendam.
Berdasarkan landasan teori di atas, maka diajukan hipotesis; mengenai ada hubungan antara pola asuh otoriter dan religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan remaja Lombok Tengah,  Ada hubungan positif antara pola asuh otoriter dengan persepsi terhadap kekerasan, semakin tinggi pola asuh otoriter maka semakin tinggi persepsi terhadap kekerasan, sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter maka semakin menurun persepsi terhadap kekerasan, Ada hubungan negatif antara religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan, semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah persepsi terhadap kekerasan, sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi persepsi terhadap kekerasan.
Metode
Defenisi Operasional Variabel Penelitian
            Persepsi terhadap kekerasan dapat dimaknai sebagai suatu penilaian yang buruk yang dapat merugikan orang lain dan diri sendiri. Adapun tindakan kekerasan yang dilakukan remaja dapat berupa kekerasan fisik dan verbal. Adapun kekerasan fisik meliputi; kekerasan fisik aktif langsung, kekerasan fisik aktif tidak langsung, kekerasan fisik pasif langsung dan kekerasan fisik pasif tidak langsung, sedangkan kekerasan verbal meliputi; kekerasan verbal aktif langsung, kekerasan verbal aktif tidak langsung, kekerasan verbal pasif langsung dan kekerasan verbal pasif tidak langsung.
            Pola asuh otoriter merupakan pengasuhan orangtua dengan aspek-aspek sebagai berikut; 1) Mendikte, 2) Mengontrol remaja dengan ketat dan kaku, 3) Menuntut kepatuhan, 4) Tidak hangat dan 5) Tidak menunjukan sikap empatik mereka terhadap anak. Pola asuh otoriter di ungkap dengan menggunakan skala pola asuh otoriter yang disebutkan oleh Baumrind (Berkowitz,) yakni proses penilaian pola perilaku remaja yang cenderung bersifat negatif.[52]
   Religiusitas diartikan sebagai keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Keyakinan individu tecermin dalam ketaatan dalam melaksanakan ibadah yang di perintahkan dan menjauhi segala bentuk larangang-Nya. Adapun aspek religiusitas yang membentuk umat dalam melaksanakan ibadah adalah a) Religious beliefs, b) Religious practice, c) Religious feeling, d) Religious knowledge, dan e) Religious effect.
Subjek Penelitian
   Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Pertama Negeri (SMPN1) Janapria. Adapun karakteristik subjek penelitian sebagai berikut; 1) Siswa-siswi SMP Negeri 1 Janapria yang duduk di kelas dua. 2). Remaja awal berusia 13-14 tahun.
3) Suku Sasak.

Pengukuran

   Penelitian ini menggunakan metode angket. Suryabrata mendefinisikan angket sebagai metode penelitian yang menggunakan daftar pernyataan yang harus dijawab atau daftar isian yang harus diisi oleh sejumlah subjek dan berdasarkan atas jawaban atau isian tersebut, peneliti mengambil kesimpulan mengenai subjek yang diteliti.[53]  Penelitian ini akan menggunakan tiga macam skala, yaitu 1). Skala persepsi remaja terhadap kekerasan, 2) Skala pola asuh otoriter dan, 3) Skala religiusitas. Sebelum digunakan untuk pengambilan data penelitian, ketiga alat ukur ini akan diujicobakan lebih dahulu untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Model skala butir untuk ketiga skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan skala Likert dengan melakukan modifikasi terhadap pilihan jawaban menjadi skala empat tingkat: sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS).
Dalam penelitian Azwar, validitas ukur dipenuhi dengan validitas isi. Sebagaimana namanya, validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap isi instrument pengukuran dengan analisis rasional yang dilakukan oleh orang profesional di bidangnya. Validitas isi telah terpenuhi dengan melihat apakah butir (pernyataan) dalam alat ukur telah sesuai dengan blue print dan memeriksa apakah masing-masing butir telah sesuai dengan indikator perilaku yang hendak diukur.[54] Perhitungan validitas butir skala alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik kriteria intern yaitu mencari koefisien korelasi antar masing-masing butir dengan skor totalnya, untuk menetapkan alat ukur yang diujicobakan memenuhi syarat atau tidak, biasanya 0,25. Uji validitas ini menggunakan program SPSS versi 16.0 for windows.
Hasil dan Diskusi
Uji asumsi normalitas sebaran dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh bervariasi atau tersebar secara normal. Ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah syarat representativeness sampel terpenuhi atau tidak, sehingga penelitian dapat digeneralisasikan terhadap populasi. Uji asumsi normalitas ini menggunakan teknik statistik non parametrik One-Sample Tes dari Kolmogrov-Smirnov. Kaidah yang digunakan adalah jika p > 0.05 maka sebarannya normal, sebaliknya jika p < 0.05 maka sebarannya tidak normal.[55] Hasil uji normalitas sebaran masing-masing variabel adalah:  
Hasil uji asumsi normalitas sebaran terhadap variabel persepsi terhadap kekerasan menghasilkan nilai Z sebesar 0,553 dengan p = 0.919 (p>0.05). Hasil uji berdasarkan kaidah menunjukkan sebaran butir-butir skala persepsi terhadap kekerasan adalah normal, hasil uji asumsi normalitas sebaran terhadap variabel pola asuh otoriter menghasilkan nilai Z sebesar 1.324 dengan p = 0,06 (p>0.05). Hasil uji berdasarkan kaidah menunjukkan sebaran butir-butir skala pola asuh otoriter adalah normal, hasil uji asumsi normalitas sebaran terhadap variabel religiusitas menghasilkan nilai Z sebesar 0,765 dengan p = 0,602 (p>0.05). Hasil uji berdasarkan kaidah menunjukkan sebaran butir-butir skala religiusitas adalah normal.
Menurut Santoro uji linieritas hubungan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bentuk hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung, dan Uji linieritas hubungan ini menggunakan pendekatan Analisis varian. Kaidah uji yang digunakan adalah jika deviation from linierity berada pada taraf signifikansi atau p> 0.05 atau jika linieritynya memiliki p < 0.05 maka hubungannya dinyatakan linier.[56] Hasil uji linieritas sebagai berikut:
Hasil uji asumsi linieritas antara variabel persepsi terhadap kekerasan dengan pola asuh otoriter mempunyai nilai linearity F sebesar 0.893, nilai deviation from linearity atau (p) 0.592, dengan taraf signifikan p > 0.05. Ini berarti bahwa hubungan antara persepsi terhadap kekerasan dengan pola asuh otoriter tersebut adalah linier.Hasil uji asumsi linieritas antara variabel persepsi terhadap kekerasan dengan religiusitas mempunyai nilai linearity F sebesar 1.153 deviation from linearity atau (p) 0.331 dengan taraf signifikan p > 0.05. Ini berarti bahwa hubungan antara persepsi terhadap kekerasan dengan religiusitas tersebut adalah linier.
Hipotesis pertama “Ada hubungan antara pola asuh otoriter dan religiusitas terhadap persepsi terhadap kekerasan”. Berdasarkan hasil pengujian regresi ganda diatas variabel- variabel bebas yaitu pola asuh otoriter dan religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan secara bersama-sama didapatkan hasil sebagai berikut.
Pola asuh otoriter dan religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan F 12,992, R 0,468, R2 0,219 dan p = 0.000. Hal tersebut bermakna bahwa hipotesis mayor dalam penelitian ini “diterima”. Sumbangan efektif yang diberikan oleh variabel pola asuh otoriter dan religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan sebesar 21,9% (R2=0,219).
Hipotesis kedua berbunyi “Ada hubungan positif antara pola asuh otoriter dengan persepsi terhadap kekerasan, semakin tinggi pola asuh otoriter maka semakin tinggi persepsi terhadap kekerasan, sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter maka semakin menurun persepsi terhadap kekerasan”. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi. Hasilnya didapatkan sebagai berikut:
Pola asuh otoriter mendukung dengan persepsi terhadap kekerasan dengan beta 0,315  t 3,417, dan p 0.001 taraf signifikansi p < 0.01 (sangat signifikan), hal ini berarti semakin tinggi pola asuh otoriter orangtua maka akan semakin tinggi persepsi remaja terhadap kekerasan, dan semakin rendah pola asuh otoriter orangtua maka akan semakin rendah persepsi terhadap kekerasan. Hasil ini” diterima. Adapun sumbangan efektif pola asuh dengan persepsi terhadap kekerasan sebesar 9,54%.
Hipotesis ketiga berbunyi “Ada hubungan negatif antara religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan, semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah persepsi terhadap kekerasan, sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi persepsi terhadap kekerasan”. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi. Hasilnya didapatkan sebagai berikut:
Religiusitas dapat mendukung dengan persepsi terhadap kekerasan dengan beta -0,357, t -3,875, dan p 0.000 taraf signifikansi p < 0.01 (sangat signifikan),  hal ini berarti bahwa ada hubungan negatif antara religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan, semakin tinggi tingkat religiusitas remaja maka semakin rendah persepsi terhadap kekerasan, sebaliknya semakin rendah tingkat religiusitas remaja maka semakin tinggi persepsi terhadap kekerasan pada remaja. Hasil ini” diterima Adapun sumbangan efektif dari variabel religiusitas dengan persepsi terhadap kekerasan adalah sebesar 12,38%.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter dapat memberikan pengaruh yang sangat signifikan dengan sumbangan efektif sebesar 9, 54% terhadap persepsi terhadap kekerasan, sedangkan variabel religiusitas dapat memberikan pengaruh yang sangat signifikan pula dengan sumbangan efektif sebesar 12,38 %, dalam hal ini pola asuh otoriter memiliki korelasi positif dengan persepsi terhadap kekerasan sedangkan religiusitas memiliki korelasi negatif dengan persepsi terhadap kekerasan.
Saran
Dengan diperolehnya hasil bahwa persepsi terhadap kekerasan pada tingkat religiusitas rendah maka diharapkan kepada orangtua untuk senantiasa mengajarkan dan menerapkan kepada anak-anak mereka dari sejak kecil untuk menanamkan ajaran agama dan membiasakan anak mereka untuk berakhlak mulia sesuai dengan norma-norma atau peraturan-peraturan yang berlaku di dalam lingkungan masyarakat sekitar.
Orangtua diharapkan untuk tidak menerapkan pola asuh otoriter terhadap anak-anak mereka, karena dari hasil diatas menunjukan bahwa pola asuh otoriter orangtau dapat memberikan dampak positif terhadap persepsi terhadap kekerasan anak yang diasuh dengan kekerasan maka, persepsi anak terhadap kekerasan meningkat, sedangkan anak yang diasuh dengan penanaman nilai-nilai moral yang baik maka anak akan menunjukan sikap yang baik pula.
Saran untuk peneliti selanjutnya adalah diharapkan dapat melihat lebih jauh lagi permasalahan-permasalahan yang terjadi dilapangan sehingga hasil dari penelitian yang diharapkan dapat memenuhi peristiwa yang menjadi titik permasalahan yaitu persepsi terhadap kekerasan yang ditimbulkan oleh ola asuh otoriter orangtua kemudian mencermati sisi religiusitas remaja itu sendiri. 

DAFTAR PUSTAKA

Algeri, S. & Souza, L.M.D., (2006). Violence against children and adolescents: A challenge in the daily work of the nursing team, Violence against children. Rev Latino-am Enfermagem 2006 julho-agosto; 14(4):625

Atkinson, R, Atkinson, R&Hilgard E., (1991). Pengantar psikologi, Jakarta: Erlan

Amjad, M., & Skinner, N., (2008). Normative beliefs about aggression and retaliation: association with aggressive behaviour and anticipatory self-censure. Journal of behavioural sciences vol. 18 Number 1-2 2008

Azra, A,.(2000). Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Depag RI

Azwar,  S., (2001).  Metode Penelitian,  Yogyakarta:  Pustaka  Pelajar.

_____,  S., (2008).  Validitas dan Reliabelitas,  Yogyakarta:  Pustaka  Pelajar.

Badrun, A., (2007). Motif perkelahian antar warga desa Petemon dan desa Karang Genteng (Studi Kasus Lombok Barat)

Berkowitz, L.,(1993). Aggression: Its causes, consequences, and control. New York: McGraw-Hill.

Berkowitz, L.,(2003). Emotional behavior: Mengenali perilaku dan tindak kekerasan di lingkungan sekitar kita dan cara penanggualanagnnya, Jakarta CV.Taruna Grafica.

Brad, J. B.,& Craig, A. A., (1998). Methodology in the study of aggression: integrating experiment and no experimental findings. In Geen, R. G. & Edward, D. (Ed.), Human aggression: Theories, research, and implications for social policy. New York: Academic Press.

Bridges, L.J., & Moore, K.A., (2002). Religion and spirituality in childhood and adolescence. Trends child.

Bornstein, L  &  Bornstein,  M.  H.,  (2007).  Parenting   styles  and   child   social
development,  encyclopedia  on  early  childhood development.

Daradjat, Z., (2000). Ilmu  Pendidikan  Islam,  Jakarta. Bumi Aksara

Darling, N., (1999). Parenting style and its corelates, http://www.Eric –Digest.

Davidoff, L.L.,(1991). Psikologi suatu pengantar, terjrmahan, Jakarta, Airlangga

Dennis, D, Daniel. F, Day.E, Friedman. S & Creeden. R, Gartland.H & Mcdavid. L,Tame. C, Matthew J. Mctaggart., (2003). Identifyng & responding to the mental health service needs of children who have experienced violence : A community based approach, clinical child psychlogy And psychiatry

Ekowarni, E., (2005). Psikologi perkembangan anak, materi kuliah S2, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, tidak diterbitkan

Funk, J.B., Hagan,J., Schimming,J., (2002).  Aggression and psychopathology in adolescents with a preference for violent electronic games, aggressive behavior. DOI 10.1002/ab.90015

Gunarsa, S.D., (2007). Psikologi perkembangan, Jakarta: Gunung Mulia

Gudlaugsdottir, G.R. Vilhjalmsson, Kristjansdottir, Jacobsen, & Meyrowitsch, (2004). Violent behaviour among adolescents in Iceland: a national survey: International Journal of Epidemiology.

Helmi, A.F., dan Soedardjo. (1998). Beberapa perspektif perilaku agresif. Buletin
Psikologi.

Hidayat, K. (1998). masyarakat, agama dan agenda penegakan masyarakat madani. makalah, seminar Nasional, Universitas Muhamadyah Malang.


Hurlock, E.B., (1999). (Terjemahan  meitasari  tjandra  &  muslichah  zarkasih)
Perkembangan anak, Jakarta : Erlangga.

Hotton, T., (2003). Childhood aggression and exposure to violence in the home, Crime and Justice research paper series.

Jalaluddin, H., (1996). Psikologi agama, Jakarta, Raja Grafindo Utama
______, H., (2001). Teologi Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Utama


Lindzey, G. & Aronson, (1975). The handbook of social psychology, New Delhi: Adison-Westey Publish Company.

Liputan6. Edisi 5 Januari 2010, SCTV

Mahmud, H. R.,(2004). Hubungan antara gaya pengasuhan orangtua dengan tingkah laku prososial anak. Jurnal Psikodinamika.

Masrun, Adisubroto, D., Martono, Martani, Wimbarti, S., Rasimin, Meiyanto, S., Subandi, Himam, F., (1987/1988). Studi pendalaman indikator, tolak ukur, dan instrumen kualitas Non Fisik tahap pertama. Laporan penelitian. Kantor Menteri KLH-UGM

Mussen, P. H., Conger, J. J., Kagan, J., dan Huston,  C. A. (1994). Perkembangan
dan  kepribadian  anak  (Alih bahasa  F. X. Budiyono,  Widianto,  Gianto)
Jakarta: Penerbit Arcan

Myers, D.G., (2002). Psychology social, International Edition, New York: McGrow Hill

Ramirez, J.M., (2001). Justification of aggression in several asian and european countries with different religious and cultural background. International journal of behavioral development.

Santrock, J. W.,(1993). Life-span development, New York. McGraw-Hill College.

Shihab,M.Q., (1993). Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Santoso, S., (2004). Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta : Penerbit PT Elek Media Komputindo

Shaleh, A.R., (2005). Psikologi suatu pengantar dalam perspektif Islam, Jakarta, Kencana

Singarimbun, M.A.&Efendi,S. (1998). Metode penelitian survey. Jakarta: LP3ES.

Subandi, (1988). Hubungan antara tingkat religiusitas dengan kecerdasan pada remaja. Laporan penelitian. Yogyakarta: fakultas psikologi UGM.

Suryabrata, S., (1990). Pengembangan  tes  hasil  belajar. Jakarta: Rajawali Press

Patnani, M., Ekowarni. E & Bhinety,M (2002). Kekerasan fisik terhadap anak dan
strategi coping yang dikembangkan Anak. Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi.



[1] Santrock, Life Span Development,  New York, Mc.Grow Hill College (1993)
[2] Harlock, Perkembangan Anak (Terjemahan Meistasari) Jakarta, Airlangga (1999).
[3] Ekowarni, Jurnal Psikologi Perkembangan Anak, Materi Kuliah S2 Fakultas Psikologi UGM
[4] Berkowitz,L. Aggression, Its causes, consequences, and control, New York, McGraw-Hill (1993).
[5] Brad & Craig, Methodology in the study of aggression,: Integrating experiment and no experiental finding, New York, Academic Press (1998)
[6]Hotton, Childhood aggression and exposure to violence in the home, Crime and justice research paper series  (2003)
[7] Amjad & Skinner, Normative beliefs about aggression and retaliation. Journals of behavioral science vol 18 number 1-2 2008
[8] Dennis, dkk, Identifyng & responding to the mental health service needs of children who have experienced violence : Community based approach clinical child psychology and psychiatry,  2003
[9] Lomboknet.com, Januari, 2009
[10] Liputan6. Edisi 5 Januari 2010, SCTV
[11]H. Sahabuddin, 15 Februari, 2010
[12] Mahmud, Hubungan antara gaya pengasuhan orangtua dengan tingkah laku prososial anak: Jurnal psikodinamika.
[13] Badrun,  Motif perkelahian antara warga desa yang bertetangga (studi kasus 2007)
[14] Ibid
[15] Daradjat, Ilmu pendidikan islam, Jakarta, Bumi Aksara (2000)
[16] Subandi, Hubungan antara tingkat religiusitas dengan kecerdasan pada remaja. Laporan penelitian, Fakultas Psikologi UGM (1988)
[17] Singarimbun & Efendi, Metode penelitian survey, Jakarta LP3ES (1998)
[18] Sihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan (1993)
[19] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Gudlaugsdottir, dkk, violence behavior among adolescent in Iceland , Journal (2004)
[24] Ramirez, Justification of aggression in several asian and european countries with different religious and culture background. International journal of behavior development, (2001)
[25] Funk, dkk., Aggression and psycopatology in adolencent with a prefarance for violence electronic,  Journal aggression for behavior ( 2002)
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Myers, Psycology social, International edition, New York: McGrow Hill (2002).
[29] Ibid.
[30] Davidoff,  Psikologi suatu pengantar, terjemahan, Airlangga (1991)
[31] Atkinson dkk, Pengantar psikologi, Jakarta, Airlangga (1991)
[32] Gunarsa, Psikologi perkembangan, Jakarta, Gunung mulia (2007)
[33] Ibid.
[34] Jalaluddin , Psikologi agama, Jakarta, Raja Grafindo Utama (1996
[35] Ibid.
[36] Darling, Parenting style and its correlation  http://www.Eric-Digest(1999).
[37] Ibid.
[38] Ibid.
[39] Bornstein & Bronstein, Parenting styles and child social development. Encyclopedia on early childhood development(2007)
[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42] Mussen, Perkembangan dan kepribadian anak, (Alih bahasa Budiyono,dkk, 1994)
[43] Ibid.
[44] Hidayat, Masyarakat, agama dan agenda penegakan masyarakat UNM (1998)
[45] Ibid.
[46] Ibid.
[47] Lindzey & Aronson, The Handbook of social psychology, New Delhi(1975).
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Azra, Pendidikan agama islam pada perguruan tinggi, Jakarta, Depag RI (2000)
[51] Shaleh,  Psikologi suatu pengantar dalam perspektif islam, Jakarta, Kencana (2005)
[52] Ibid.
[53] Suryabrata, Pengembangan tes hasil belajar, Jakarta, 1990.
[54] Azwar, Metode penelitian, Yogyakarta, 2001.
[55] Santoso, 2004, Buku latihan SPSS Statistik parametric, Jakarta, 2004.
[56] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar