Senin, 11 Juni 2012

Komunikasi Politik Sebagai Kajian Dalam Ilmu Politik




Komunikasi politik merupakan studi multidisipliner yang melibatkan beberapa cabang ilmu terutama cabang ilmu komunikasi dan ilmu politik. Hal ini bisa dilihat dari kajian komunikasi politik yang secara umum membahas keterkaitan antara proses komunikasi dan proses politik yang berlangsung dalam sebuah sistem politik. Kesulitan yang dialami oleh kebanyakan studi multidisipliner seperti studi komunikasi politik adalah sulitnya menemukan keberimbangan penekanan ataupun perspektif dan penguasaan metodologi lintas ilmu.
Selama ini studi komunikasi politik masih lebih banyak menjadi perhatian ilmuwan komunikasi ketimbang ilmuwan politik, sehingga bisa dipahami ketika ada perspektif yang berbeda dalam melihat proses komunikasi politik yang terjadi dalam sebuah sistem politik. Perbedaan penekanan dan perspektif antara ilmuwan komunikasi dan ilmuwan politik dalam melihat komunikasi politik terletak pada:
  1. Ilmuwan komunikasi lebih cenderung melihat peran media massa dalam komunikasi politik, sedangkan ilmuwan politik (khususnya penganut mazhab behavioralisme) cenderung melihat proses komunikasi politik dari segi pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik dalam kegiatan kemasyarakatan.
  2. Ilmuwan komunikasi cenderung melihat saluran komunikasi politik dalam bentuk media massa sebagai saluran terpenting. Sedangkan ilmuwan politik melihat saluran media massa dan saluran tatap muka yang melibatkan pemimpin opini (opinion leader) memainkan peran yang sama pentingnya.
Penelusuran yang dilakukan dengan cara memperlihatkan bahwa kajian komunikasi politik berawal dari kajian tentang propaganda dan opini publik pada tahun 1922 dimana Ferdinand Tonnies dan Walter Lippmann melakukan penelitian tentang opini publik, disusul oleh peneliti-peneliti berikutnya. Pada tahun 1027 Harold Lasswell dalam disertasinya melakukan penelitian tentang propaganda berjudul “Propaganda Technique in the World War”. Berdasar pada disertasi Lasswell, Amerika Serikat yang semula memandang propaganda memiliki arti yang negatif, justru kemudian memanfaatkannya dalam Perang Dunia II dengan melibatkan sejumlah ilmuwan dan praktisi. Berkat rintisan Lasswell dalam disertasinya yang dipandang sangat penting, Wilbur Schramm ahli di bidang content analysis menempatkan Lasswell sebagai tokoh utama dalam studi komunikasi politik.  
Istilah komunikasi politik dalam ilmu politik memang terbilang masih relatif baru, sekalipun obyek kajiannya sudah lama mendapatkan perhatian dalam ilmu politik  seperti partisipasi politik, perilaku pemilih, sosialisasi politik, lembaga politik, dan lain-lain. Istilah Komunikasi Politik dalam ilmu politik mulai banyak disebut sejak tahun 1960an ketika Gabriel Almond menerbitkan bukunya “The Politics of Development Area”, dimana dia menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Adapun fungsi yang dijalankan oleh sebuah sistem politik tersebut menurut Almond adalah:
  1. Sosialisasi Politik, internalisasi nilai-nilai politik dari satu generasi ke generasi berikutnya.
  2. Rekrutmen Politik, penyeleksian individu-individu yang berkompeten untuk duduk dalam jabatan politik maupun jabatan publik.
  3. Artikulasi Kepentingan, proses penyerapan kepentingan publik atau masyarakat.
  4. Agregasi Kepentingan, proses pengolahan kepentingan publik menjadi alternatif kebijakan untuk dimasukkan dan diproses dalam sistem politik.
  5. Komunikasi Politik, proses penyampaian pesan-pesan politik dalam infra struktur politik, supra struktur politik, maupun dalam masyarakat.
  6. Pembuatan Peraturan, proses pembuatan kebijakan.
  7. Penerapan Peraturan, proses implementasi kebijakan.
  8. Ajudikasi Peraturan, proses pengawasan dan evaluasi kebijakan.
Dari penjabaran fungsi system politik tersebut terlihat bahwa komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, tapi inhern dalam setiap sistem politik dan dapat ditemukan dalam tiap-tiap fungsi sistem politik yang lain. Proses komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan politik yang terjadi pada saat fungsi-fungsi yang lain dijalankan. Dengan kata lain, komunikasi politik melekat pada fungsi-fungsi yang lain dan merupakan prasyarat yang diperlukan bagi berlangsungnya fungsi-fungsi yang lain. Ketika fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan peraturan, penerapan aturan, dan ajudikasi peraturan berjalan, sesungguhnya didalamnya sedang berlangsung pula proses komunikasi politik. 
Sumbangan pemikiran yang diberikan Almond tersebut adalah bahwa semua sistem politik, dimanapun dan kapanpun, memiliki persamaan yang mendasar, yaitu ditinjau dari fungsi yang dijalankan. Sekalipun bentuk atau sifat dari fungsi tersebut bisa berbeda-beda karena dipengaruhi oleh banyak faktor seperti, lingkungan, budaya, dan lain-lain, namun menurut Almond perbedaan itu tidak bersifat mendasar. Dengan demikian, kajian komunikasi politik dalam ilmu politik yang perlu dicermati adalah:
  • Adanya perhatian yang sama besar terhadap arus komunikasi dari atas ke bawah (dari pemerintah/penguasa politik pada masyarakat) dan dari bawah ke atas (dari masyarakat pada pemerintah/penguasa politik).
·         Indikator arus komunikasi politik dari bawah ke atas atau dari masyarakat ke penguasa politik (bottom up) paling tidak bisa dilihat dari agregasi kepentingan dan partisipasi politik.
·         Komunikasi politik yang ideal dalam sebuah sistem politik adalah ketika dikaitkan dengan demokratisasi. Frekuensi penggunaan komunikasi politik oleh masyarakat merupakan salah satu indikator peningkatan demokratisasi politik, yang menunjukkan arus komunikasi politik tidak sekedar datang dari atas ke bawah, melainkan juga dari bawah ke atas. Hal yang penting di sini adalah keterbukaan saluran komunikasi politik dan keterbukaan penguasa politik.
·         Peran sebagai komunikator yang dijalankan masyarakat dalam komunikasi politik memerlukan beberapa kualifikasi, yaitu:
1.      Masyarakat harus mengerti dengan baik masalah yang akan dikomunikasikan. Masyarakat dituntut untuk bisa menjelaskan masalah secara argumentatif dan rasional.
2.      Masyarakat harus mampu merumuskan masalah atau tuntutan dengan jelas supaya bisa diterima dan dipahami dengan baik.
3.      Masyarakat harus mampu untuk tidak menyinggung soal diri pribadi pejabat tertentu. Masalah politik adalah masalah rakyat keseluruhan, karena itu tuntutan yang diwarnai oleh sentimen pribadi bisa mengurangi kualitas tuntutan itu sendiri.
4.      Kualifikasi tersebut berpangkal pada adanya sosialisasi dan pendidikan politik yang baik dalam sebuah masyarakat.
  • Adanya ketidakjelasan dan ketumpangtindihan (overlap) konsep komunikasi politik dengan fungsi-fungsi sistem politik lainnya ataupun dengan konsep-konsep lain dalam ilmu politik. Hal ini menyebabkan studi komunikasi politik dalam ilmu politik tidak terlihat nyata, meskipun sebenarnya obyeknya telah banyak dikaji dalam ilmu politik.
  • Masih kurangnya penggunaan metode dan pendekatan yang biasa digunakan ilmu komunikasi dalam mengkaji proses komunikasi. Oleh karena itu, untuk memperjelas eksistensi studi komunikasi politik, ilmuwan politik perlu menggunakan bantuan dari ilmu komunikasi yang telah berhasil menciptakan berbagai pendekatan, metode, dan konsep yang bermanfaat bagi para ilmuwan politik.

Sumber : Diktat Komunikasi Politik, Dian Eka Rahmawati, S.IP, M.Si

Tidak ada komentar:

Posting Komentar